Selasa 18 Jun 2019 04:59 WIB

Kisah Sarwo Edie: Makar, Intelejen, Purnawirawan Flamboyan

Meski menjadi King Makar Orde Baru Sarwo Edie pernah menjadi korban intrik intelejen.

Sarwo Edie
Foto:
Sarwo Edie muda (tengah).

Kemudian Sarwo menjadi duta besar RI di Korea Selatan pada 1974-1978. Lalu ditugas karyakan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri selama lima tahun, 1978-1983.

Pensiun sebagai letjen. Ia tidak diberi kesempatan menjadi panglima Kodam di Jawa yang lebih prestise. Sehingga kehilangan kesempatan menjadi Panglima Kowilhan untuk jenderal bintang tiga. Sembilan tahun, Sarwo tanpa jabatan militer.

Jenderal tanpa pasukan membuatnya kehilangan kharisma, seperti era 1965-1967. Usai pensiun, ia diberi tugas sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada 1984-1987.

Ia juga diberi jabatan sebagai dewan pengawas Bank Bumi Daya. Kemudian namanya masuk sebagai calon Ketua DPR periode 1987-1992 dari Fraksi Golkar DPR RI. Sarwo sudah mengundurkan diri sebagai Kepala BP-7 untuk menyongsong jabatan lain. Namun, Presiden Soeharto justru memilih Letjen Kharis Suhud sebagai Ketua DPR. Bukan dirinya. Padahal media massa memperkirakan Sarwo akan menjadi orang nomor satu di lembaga legislatif.

Sarwo kemudian mundur teratur sebagai anggota DPR. Ia cuma menjalaninya selama sekitar setengah tahun sebagai anggota parlemen.

SDi balik itu, pada 1984, sesungguhnya sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1966 sudah menghubungi Sarwo dan memintanya menjadi calon presiden periode 1988-1983. Alasan para mantan aktivis mahasiswa, Soeharto sudah 20 tahun menjadi presiden. Sudah cukup lama menduduki jabatan tersebut dan pada era itu semakin otoriter.

Pertemuan rahasia para mantan aktivis mahasiswa dengan Sarwo itu pernah diungkapkan Fahmi Idris pada penulis sekitar tahun 1999 di kantornya, Kementerian Tenaga Kerja.

Pertemuan aktivis dengan Sarwo dilakukan usai penangkapan terhadap mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Dharsono. Tuduhannya tidak main-main. Mantan sekjen ASEAN itu dituduh akan melakukan makar atau subversif pada 1984.

Subversif adalah upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Sedangkan maker diartikan sebagai upaya membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden dalam memerintah.

Penangkapan terhadap jenderal yang turut menjadikan Soeharto sebagai presiden itu terjadi usai sejumlah peristiwa berdarah Tanjung Priok, dan peledakan Bank BCA di dua lokasi di Jakarta.

Dalam persidangan Dharsono membantah semua tuduhan makar atau subversif kepada dirinya. Namun ia tetap harus mendekam di penjara selama lebih dari lima tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement