Selasa 18 Jun 2019 04:59 WIB

Kisah Sarwo Edie: Makar, Intelejen, Purnawirawan Flamboyan

Meski menjadi King Makar Orde Baru Sarwo Edie pernah menjadi korban intrik intelejen.

Sarwo Edie
Foto:
Sarwo Edie dan Soeharto.

Siapa sesungguhnya Sarwo pada saat pemerintahan Presiden Soeharto? Menurut wartawan senior dan guru besar ilmu politik, Prof Dr Salim Said dalam buku ‘Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016)’, nasib Sarwo senaas beberapa ‘king maker’ lainnya.

King maker adalah istilah bagi sosok yang membuat orang lain menjadi raja. Sarwo berperan menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Ia menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD yang menghabisi PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur era 1965-1967.

Soeharto resmi menjadi presiden pada 1968. Setelah menjadi Komandan RPKAD yang legendaris, ia dipromosikan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan (1967-1968). Kemudian Panglima Kodam Cenderawasih di Jayapura (1968-1970).

Saat menjadi Panglima di Medan, cerita Salim Said, Sarwo diisukan akan melakukan kudeta (makar) terhadap Presiden Soeharto. Sarwo terkejut dengan isu tersebut. Ia pun menghadap Presiden Soeharto untuk membantah isu tersebut. Pak Harto tak menjawab hanya tersenyum saja, seperti gaya khasnya.

Akhirnya Sarwo tahu siapa orang yang mengembuskan isu dirinya akan melakukan makar. Lingkaran intelijen Presiden Soeharto diduga berusaha menyingkirkannya dan menjauhkannya dari sang presiden.

Masih di era itu, Sarwo pun akan diplot menjadi duta besar di Uni Soviet. Rumors tersebut membuat morilnya jatuh. Bagaimana mungkin ia yang memberangus komunis di Indonesia, kemudian akan di tempatkan di Moskow. Negeri ‘tirai besinya’ komunis. Sebuah penghinaan baginya. Ia merasa kembali ‘dikerjain’ kelompok intelijen di lingkaran Soeharto.

Hal tersebut terungkap dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’. Namun, rencana penempatan itu batal. Sarwo justru dipindahkan menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Situasi genting, karena akan ada penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969 atau referendum rakyat Irian Jaya. Apakah akan tetap memlih Indonesia atau ikut Belanda?

Nasib karier militer Sarwo juga akan ditentukan di sini. Hasilnya, rakyat Irian Jaya tetap memilik Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya. Keberhasilan Brigjen Sarwo di Irian Jaya tidak lantas mengangkat karier militernya. Misalnya menjadi panglima Kodam di Pulau Jawa. Ia justru dipromosikan menjadi mayjen dengan jabatan Gubernur Akabri di Magelang selama empat tahun (1970-1974). Di sini hikmahnya, ia mengenal ketiga calon menantunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement