Senin 17 Jun 2019 10:57 WIB

Mempertahankan Tradisi dalam Gebyar Festival Budaya Betawi

Para penjual tak hanya berdagang tapi mempertahankan tradisi Betawi.

Pengrajin menyelesaikan pembuatan Ondel-Ondel di Rumah Produksi Ondel-ondel Sanggar Betawi Al-Fathir Jalan Kramat Pulo, Jakarta.
Foto: Thoudy Badai
Pengrajin menyelesaikan pembuatan Ondel-Ondel di Rumah Produksi Ondel-ondel Sanggar Betawi Al-Fathir Jalan Kramat Pulo, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—  Suasana Kampung Cipedak Jalan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan tampak berbeda pada Ahad (16/6) petang.

Sebagian Jalan Srengseng Sawah yang terletak di belakang kampus Institut Sains dan Teknologi Nasional itu telah ditutup bagi kendaraan bermotor, tempat itu diubah menjadi lokasi bazar, lengkap dengan tenda-tenda penjual yang kerap dijumpai di setiap festival.

Baca Juga

Kawasan Kampung Cipedak itu tengah menjadi tuan rumah bagi acara Gebyar Festival Budaya Betawi yang digelar mulai 15 hingga 16 Juni 2019. Berbagai penganan dan minuman khas Betawi seperti kerak telor, dodol Betawi, asinan Betawi, bir pletok hingga es selendang mayang tampak dijajakan para penjual di tenda-tenda yang disewakan.

Tidak hanya kuliner lawas khas Betawi, salah satu tenda yang banyak didatangi pengunjung adalah tenda Baim Batavia yang menjual pakaian khas Betawi lengkap dengan aksesorinya.

Dari balik tumpukan barang dagangan, sang penjual Tong Ama sibuk melayani pembeli yang berdatangan, Tak sedikit dari mereka yang menawar harga yang telah dipatok Tong Ama.

"Pecinya 30 (Rp30 ribu), ya?" kata salah seorang pembeli yang hendak membeli peci merah berbahan beledu.

Sang penjual tetap bertahan pada harga yang telah ditentukannya. Setelah tawar-menawar selama beberapa menit, pembeli tersebut menyerah, kemudian membeli peci dengan harga Rp 35 rbu.

Tong Ama merupakan salah satu penjual baju khas Betawi di acara Gebyar Festival Budaya Betawi Cipedak 09 di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Di sela-sela berjualan, pria yang kerap disapa Mang Entong itu menceritakan kisah awal mula berdagang.

Sekitar dua tahun yang lalu mulai dengan membuat pajangan ondel-ondel mini, lalu dijual. Dari situ, mulai menghasilkan keuntungan dan uangnya diputar lagi. Sampai sekarang, menurut Mang Entong, bisa jadi modal jualan baju.

Baju khas Betawi yang dia jual adalah model baju pangsi lengkap serta asesoris pelengkap seperti peci, sarung untuk dikalungkan di leher, dan juga sabuk berwarna hijau.

photo
Pakaian adat Betawi

Berjualan baju dan pernak-pernik yang sarat akan budaya Betawi bukan sebuah kebetulan. Saat hendak memulai usaha, Tong Ama sengaja memilih untuk berjualan barang-barang yang dekat dengan kebudayaannya sendiri.

"Saya sendiri orang Betawi, nenek moyang saya orang Betawi. Mau jualan apalagi yang ngepas sama saya," katanya.

Tong Ama mengaku ingin melestarikan budaya Betawi melalui barang-barang yang dia jual, terutama di tengah merebaknya modernisasi di Ibu Kota.

Niatnya untuk menonjolkan identitas Betawi yang dia anggap belum terlalu dipahami oleh masyarakat Jakarta. Dia pun berjualan dan mengikuti festival-festival kebudayaan Betawi.

Salah satu barang jualan andalan Tong Ama adalah pin berbentuk golok. Menurut dia, pin tersebut laku keras setiap dia mengikuti bazar, festival, atau acara semacamnya.

Golok ini ciri khas adat Betawi. Di daerah lain, misalnya ada model kujang, di Madura ada celurit.

Pada masa lampau, tak sembarang orang dapat memiliki dan memakai pin berbentuk golok karena benda tersebut merupakan simbol kependekaran.

Menurut Tong Ama, dahulu hanya orang-orang tertentu yang memakai pin golok dan biasanya seorang pendekar dapat pin itu dari gurunya.

Kini, pin golok itu menjadi simbol budaya Betawi yang melekat dengan dunia persilatan dan kependekaran. Bahkan, sering kali sebagai aksesori, terutama di peci pelengkap baju pangsi khas Betawi.

photo
Pencak Silat Betawi

Pin yang dia jual bervariasi dari segi bahan dan model. Selain itu, harganya juga bervariasi, mulai dari Rp 35 ribu hingga Rp 100 ribu, atau tergantung pada model dan bahannya. Model yang paling mahal adalah yang berbahan tanduk. “Bahkan, banyak dicari,” katanya.

Peci juga merupakan salah satu barang yang banyak digemari oleh pembeli yang menyambangi tenda jualan Tong Ama, terutama yang berwarna hitam dan merah. Ketika salah seorang pembeli menghampiri dan melihat-lihat peci merah berbahan beledu itu, Tong Ama menyempatkan diri untuk menceritakan arti di balik warna tersebut.

Ia menjelaskan bahwa peci berwarna merah biasanya digunakan oleh mereka yang bertamu ke rumah seseorang, sedangkan yang berwarna hitam kerap digunakan oleh sang tuan rumah.

Tak banyak yang pembeli Tong Ama yang mengetahui makna tersebut sehingga sesekali dia suka menceritakan kisah menarik itu sebagai salah satu cara baginya untuk terus berupaya melestarikan budaya Betawi yang tak banyak diketahui.

Dari kecil, kata pria asal Kampung Dukuh, Jakarta Timur itu, dirinya memang ingin menjaga dan melestarikan budaya Betawi ini.

Pada masa yang akan datang, dia ingin tetap mengikuti acara-acara festival kebudayaan Betawi yang digelar di Jakarta. Dengan begitu, dia ikut mengambil peran dalam melestarikan budaya yang telah melekat pada dirinya itu.

Tong Ama pun berharap agar budaya Betawi dapat terus dijaga, dilestarikan, dan dirayakan oleh masyarakat Ibu Kota. Meski modernisasi dan budaya baru terus berdatangan, dia ingin agar budaya leluhurnya itu dapat terus berjaya di tanah Jakarta. "Menjadi tuan rumah di tanah sendiri," ucapnya mengakhiri ceritanya.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement