Senin 19 Nov 2018 08:55 WIB

‘Memaksa’ Pengunjung Mencintai Budaya Betawi

Pihak pengelola ingin pengunjung bangga memakai pakaian adat Betawi

Rep: Farah Noersativah/ Red: Bilal Ramadhan
Pakaian adat Betawi
Foto: antara
Pakaian adat Betawi

REPUBLIKA.CO.ID, "Itu Patung Pancoran, kan?,” kata salah seorang siswa dari SD Al-Azhar Kota Bekasi yang terlihat antusias pada saat mengunjungi Museum Betawi, di Zona A Kawasan Pariwisata Setu Babakan, Jakarta Selatan.

“Bukan, itu Patung Dirgantara, yang letaknya ada di wilayah Pancoran,” kata sang pemandu wisata Museum Betawi kepada siswa tersebut. Dia tengah memandu puluhan siswa, yang saat itu sedang berhenti di depan Patung Dirgantara.

Siang itu, terlihat ramai. Ada sekitar tiga SD yang mengunjungi kawasan pariwisata Setu Babakan itu. Marsya (10) yang duduk di bangku SD Al Azhar Kota Bekasi itu juga terlihat antusias mengunjungi Museum tersebut.

“Suka sekali. Seru. Kita jadi tahu bagaimana sejarah dari budaya Betawi,” kata Marsya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, banyak pengetahuan yang didapat ketika dia mendatangi Museum Betawi yang ada di kawasan Setu Babakan. Dari kunjungannya, dia bisa mengetahui apa dan bagaimana busana adat untuk menikah bagi orang Betawi.

Marsya menyebut ingin kembali lagi untuk mengunjungi Museum Betawi. Sebab, menurutnya, tempatnya sangat nyaman dan menyenangkan. “Iya, sangat menyenangkan. Kita jadi suka di sini,” kata Marsya.

Busana adat budaya menjadi salah satu daya pikat tersendiri bagi kawasan pariwisata sendiri. Selain untuk melestarikan budaya, pakaian adat bisa diperkenalkan kepada para pengunjung.

Kepala Tata Usaha Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya (UPK PBB) Setu Babakan, Syaiful Amri menilai, pemahaman budaya Betawi di tengah-tengah generasi penerus saat ini cukup mengkhawatirkan. Hal ini lantaran adanya budaya luar yang masuk cukup masif saat ini.

“Cukup mengkhawatirkan. Saat ini budaya luar negeri ini kan benar-benar masuk dan mempengaruhi banyak generasi penerus. Sehingga menurut saya, budaya Betawi harus dipertahankan dengan cara diperkenalkan kepada masyarakat terutama generasi penerus,” ujar Syaiful yang juga merupakan seniman Betawi Komedi Betawi itu.

Laki-laki berambut ikal itu menyebut budaya Betawi harus terus dipertahankan agar tak punah. Apalagi saat ini tengah digempur dengan tantangan globalisasi. Pihaknya berupaya untuk mengadakan replika perkampungan Betawi, agar Betawi tetap digandrungi masyarakat luas.

Laki-laki yang bergelar doktor juga itu menceritakan, para tokoh budaya Betawi bersama dengan Badan Musyawarah Betawi dan LKB Betawi, bersepakat untuk mempertahankan budaya Betawi dengan membuat perkampungan Betawi. Beberapa tempat saat itu dicalonkan sebagai opsi perkampungan budaya Betawi.

Di antaranya yaitu di wilayah Condet di Jakarta Timur, Marunda di Jakarta Utara, Kemayoran di Jakarta Pusat, dan Setu Babakan di Jakarta Selatan. Namun ketiga opsi awal disebut tak memenuhi syarat karena berbagai alasan, yaitu karena padat dan terlalu panas.

Sehingga, mereka memutuskan untuk menjadikan Setu Babakan sebagai perkampungan budaya Betawi. Lalu, pada akhirnya, Pemprov DKI mendorongnya dengan mengadakan UPK PBB pada 2015 lalu.

Salah satu komitmen Pemprov dan tokoh Betawi yang terbentuk dalam forum Pengkajian dan Pengembangan (Jibang) untuk mempertahankan dan memperkenalkan budaya Betawi adalah dengan meminta para pengunjung dewasa untuk mengenakan pakaian adat ketika berkunjung ke Setu Babakan.

Salah satu dari 14 tokoh Betawi yang termasuk dalam forum Jibang, adalah Indra Sutisna. Laki-laki yang akrab disapa Bang Indra ini menyebut permintaan pengelola kepada pengunjung untuk mengenakan pakaian adat Betawi adalah sebuah bentuk “pemaksaan”.

“Memang perlu ya untuk sedikit dilakukan “pemaksaan”, karena itu merupakan wujud pengenalan kepada masyarakat dan sebagai ajang untuk mempelajari budaya Betawi,” kata Indra.

Dia mengatakan, dengan dikenakannya pakaian adat Betawi kepada pengunjung, bukan berarti pengunjung akan menjadi orang Betawi. Paling tidak, mereka akan merasa memiliki kedekatan emosional ketika mengenakan pakaian adat.

Hal itu sebenarnya sama dengan peraturan yang ada di beberapa tempat wisata di Bali, dan juga di lingkup internasional seperti Korea Selatan dan Jepang. Walaupun itu adalah pakaian adat setempat, tapi para pengunjung terlihat bangga mengenakannya ketika berkunjung.

“Nah itu, masa orang bisa bangga dengan pakaian adat Korea atau Jepang. Kita juga bisa begitu, dengan mengenakan pakaian adat Betawi ke pengunjung, akan merasa bangga dan cinta akan budaya Betawi,” kata dia.

Indra juga mempertegas, adanya perkampungan budaya Betawi sangat penting di wilayah DKI Jakarta sendiri. Sebab, sebagai budaya khas di DKI Jakarta, Betawi harus memiliki “dapur” sendiri agar bisa menunjukkan eksistensi dari budaya Betawi itu sendiri.

Dengan adanya “dapur” Betawi di DKI Jakarta, dia berharap masyarakat terutama generasi muda dapat mempelajari seluk beluk Betawi. Hal ini, kata dia, sebagai upaya para tokoh Betawi untuk mempertahankan budaya Betawi di DKI Jakarta sendiri.

“Paling tidak nanti saya bisa bercerita dan memberikan inspirasi kepada anak saya, bahwa Babe-babenya itu telah melakukan sesuatu untuk mempertahankan budaya Betawi di tengah globalisasi yang sangat masif ini. Kalau tidak berbuat apa-apa, pasti anak saya bakal berpikir, ‘ngapain gue susah-susah? Nyak-Babe gue juga kagak ngelakuin ape-ape?’ Jangan sampai begitu,” jelas Indra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement