Senin 17 Jun 2019 09:58 WIB

Saatnya Berbagi Ruang dengan Gajah Sumatra

Konflik dengan manusia terjadi di area yang memang menjadi wilayah jelajah gajah.

Seekor gajah Sumatera jantan.
Foto: FB Anggoro/Antara
Seekor gajah Sumatera jantan.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Gajah diberkahi Tuhan dengan sifat alami yang membuatnya berperan sebagai tukang kebun di hutan belantara. Setiap kawanan satwa bongsor ini melewati daerah jelajahnya, mereka membuat jalur alami dan menebar biji-bijian dari buah yang dimakannya.

Namun, hal ini makin terlupakan karena masyarakat kini memandang gajah di alam sebagai hama, sedangkan gajah yang lucu hanya ada di kebun binatang. Pembangunan sering kali tidak mengindahkan makhluk hidup lainnya, keseimbangan di alam pun terganggu dan muncullah konflik satwa dengan manusia.

Pada tahun ini konflik satwa dengan manusia mungkin berada pada titik terburuk. Pada Mei lalu, seorang buruh pemanen pohon akasia di perusahaan tewas diterkam harimau sumatera liar. Menjelang Idul Fitri 1440 Hijriyah gajah sumatera masuk perkebunan warga.

Kasus gajah bahkan hingga kini masih berlangsung. Di sekitar Minas, 11 ekor gajah mendekati permukiman di Kota Pekanbaru membuat pawang dan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau harus bekerja saat libur Lebaran. Begitu juga di Kabupaten Indragiri Hulu, enam ekor gajah keluar dari lanskap Tesso Nilo, masuk perkebunan karet dan sawit warga.

Warga mencoba menghalau secara swadaya, namun malah membuat kawanan gajah itu terpecah dua sehingga empat berkeliaran di Kecamatan Peranap dan sisanya di Kecamatan Kelayang. Hingga lebih 14 hari terakhir, kawanan gajah liar itu masih belum bisa dihalau untuk masuk hutan.

Kerusakan Habitat

Konflik satwa dengan manusia tidak bisa dimungkiri akibat kerusakan habitat mereka, akibat manusia tidak bisa menjaga keseimbangan ekosistem saat melakukan pembangunan. Contohnya, pada kasus gajah sumatera, Humas WWF Program Riau Syamsidar mengatakan konflik dengan manusia terjadi di area yang memang menjadi wilayah jelajah satwa dilindungi tersebut.

"Gajah hanya akan melalui jalurnya sama sejak nenek moyangnya, tapi karena perubahan fungsi hutan membuat konflik dengan manusia terjadi," kata dia kepada Antara.

Sebanyak delapan kantong gajah di Riau memprihatinkan dan berpeluang terjadi kepunahan lokal. Di Provinsi Riau terdapat delapan kantong gajah yang menjadi habitat asli bagi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Kondisinya kini kian memprihatinkan karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, hingga permukiman.

"Kantong gajah sudah banyak beralih fungsi, berbentuk hutan makin sedikit, karena menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Hal inilah yang membuat konflik gajah dengan manusia tidak bisa dihindari dan makin sering terjadi," katanya.

Berdasarkan survei WWF pada 2018, populasi gajah di sejumlah kantong tinggal segelintir dan berpeluang terjadi kepunahan lokal. Seperti di kantor gajah Rokan Hilir, berdasarkan survei tinggal satu individu tersisa, begitu juga di kantong Batang Ulak. Di kantong Mahato-Barumun tinggal tiga individu dan di kantong gajah Balai Raja hanya lima individu.

"Seperti di Mahato itu tiga individu yang tersisa semuanya betina, tidak ada peluang reproduksi lagi dan bisa terjadi apa yang disebut kepunahan lokal," katanya.

Populasi gajah sumatera masih cukup banyak di kantong gajah Giam Siak Kecil, yakni mencapai 50-60 individu. Di kantong Tesso Nilo Utara 30-38 ekor dan Tesso Nilo Tenggara 50-60 ekor.

Hanya saja, kondisi kantong Tesso Nilo juga memprihatinkan sehingga rawan terjadi konflik dengan manusia, seperti yang kini terjadi di Indragiri Hulu. Ia mengatakan perlu ada upaya bersama agar menghindari atau minimal menekan konflik gajah dengan manusia.

Pemegang izin konsesi perkebunan dan kehutanan di area kantong gajah perlu menerapkan manajemen perlindungan terhadap satwa bongsor itu. "Konflik gajah dengan manusia akan terus terjadi karena kantong gajah makin sempit," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement