Senin 17 Jun 2019 05:01 WIB

Soeharto dan Kisah Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang

Kala Orde Baru Soeharto kerap murka saat melawan para jendral pembangkang.

Presiden Soeharto tampak sangat merakyat dengan mebubuhkan tanda tangan dengan punggung seseorang.
Foto: google.com
Soeharto dan AH Nasution ketika hubungan dengan petisi 50 mulai mencair.

Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu. Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya.

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok. Sang jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun. Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tanjung Priok.

Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum. Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.

Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.

Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum. Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono.

“Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.” Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement