Senin 17 Jun 2019 05:01 WIB

Soeharto dan Kisah Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang

Kala Orde Baru Soeharto kerap murka saat melawan para jendral pembangkang.

Presiden Soeharto tampak sangat merakyat dengan mebubuhkan tanda tangan dengan punggung seseorang.
Foto: Google.com
Presiden Soeharto tampak sangat merakyat dengan mebubuhkan tanda tangan dengan punggung seseorang.

Dituduh makar Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979.

Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.

Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB), pada Juli 1978. Proklamator Mohamad Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.

AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar. Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.

Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila.

Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata. “… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.

Aku Pancasila Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila. Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto ini dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980.

Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata. Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.

Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI meminta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata.pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah. Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.

Namun dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai. "Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.

Maka perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank. Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement