Rabu 12 Jun 2019 18:21 WIB

Kisah Habibie Seimbangkan Agama, Budaya, dan Sains

Sebagai cendekiawan, perjalanan Habibie saat muda bisa menjadi motivasi

Rep: Hartifiany Praisra/ Red: Christiyaningsih
Presiden Ketiga RI - BJ Habibie
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Presiden Ketiga RI - BJ Habibie

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Nama besar yang didapat Presiden Republik Indonesia ketiga BJ Habibie bukan sesuatu yang dia dapatkan secara instan. Sebagai cendekiawan, perjalanan Habibie saat muda bisa menjadi motivasi bagi generasi muda.

"Saya lahir di desa, dari agama yang kuat. Saya belajar dari umur tiga tahun dan yang saya baca pertama kali adalah Alquran," kata Habibie di SD El Fitra, Jalan Cibodas Raya, Kota Bandung, Rabu (12/6).

Baca Juga

Habibie lahir dari orang tua pekerja keras. Orang tuanya memiliki target untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan keringatnya sendiri.

"Saya sekolah di sekolah Belanda, kalau saat ini seperti sekolah internasional. Anak-anaknya 95 persen orang luar negeri, mahal itu bayarnya. Sedikit pribumi dan itu yang bayar orang tua sendiri," kata Habibie memulai kisahnya.

"Ayah saya meninggal karena serangan jantung, sedang shalat ketika saya umur 14 tahun, saya lihat dengan kepala saya sendiri," kata Habibie.

Ketika itu pula, Habibie muda berjanji akan membantu ibunya untuk membiayai sekolah adiknya meskipun dia juga memiliki kehidupan sekolah yang sulit. Dia kemudian menghabiskan masa sekolah atasnya di Bandung. Saat itu, Habibie muda bersekolah di Dago Christian High School atau kini dikenal dengan SMAK Dago.

Bersekolah di sekolah Kristen nyatanya tidak menurunkan keimanan Habibie. Dia bercerita bahwa gurunya menanyakan soal pelajaran Kitab Injil agar Habibie berdiskusi dengan ibunya.

"Saya ditanya guru 'tanyakan ibumu apakah kamu mau ikut dengan pelajaran ini? Kalau tidak silakan kamu di perpustakaan,' lalu saya tanya ibu saya," katanya mengenang saat itu.

Ibunya menyuruhnya untuk mengikuti pelajaran itu. Sang ibu yakin Habibie tidak akan goyah meskipun mempelajari agama lain.

"Kata ibu saya 'kamu dari kecil sudah baca Quran, kamu sudah tahu dasar Islam dan itu bagian dari kehidupan,' saya masuk pelajaran itu. Lucunya, nilai saya di pelajaran itu terbaik," katanya disambut tepuk tangan.

Dari sana, Habibie mengaku yang menentukan nasib seseorang bukanlah dari sekolah saja. Tapi dari guru pertamanya, orang tua. "Dampaknya, saya lebih yakin dengan agama yang saya anut dari keturunan orang tua saya," katanya.

Usai tamat sekolah menengah atas, pria kelahiran Parepare ini melanjutkan sekolah di Institut Teknologi Bandung. Saat melanjutkan perguruan tinggi, Habibie akhirnya menerima beasiswa pertamanya bersekolah di Jerman.

"Saat itu saya jual makanan untuk membiayai sekolah tanpa beasiswa. Baru tamat SMA saya masuk ITB, baru lima bulan kuliah akhirnya mengajukan beasiswa ke Jerman," katanya.

Habibie berpesan, orang tua adalah guru pertama anak-anak. Sebagus apapun sekolah, sepintar apapun nilai pelajaran, tanpa orang tua anak bukanlah apa-apa.

Untuk itu sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa dilepaskan dari andil orang tua. Apalagi, anak merupakan generasi muda penerus bangsa.

"Jadi harus ada survei tentang keluarga sakinah, bagaimana keluarga bisa dikembangkan dan diunggulkan. Agar menjadi contoh manusia yang perilakunya positif dan memiliki nilai budaya dan agama," kata Habibie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement