REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International menyebut Penjelasan Kepolisian Republik Indonesia terkait aksi kekerasan 21-22 Mei lalu tidak menyeluruh. Amnesty menilai polisi gagal mengungkap fakta sembilan korban tewas dalam peristiwa tersebut.
“Sangat mengecewakan melihat bahwa alih-alih menunjukkan perkembangan penyidikan tentang sebab musabab korban yang tewas dan pelaku yang harus bertanggungjawab, narasi yang dapat berkembang dari konferensi pers hari ini malah mengarah pada wacana 'perusuh vs polisi',” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangannya, Selasa (11/6).
Amnesty International Indonesia mengakui, kepolisian berada dalam kondisi yang tidak mudah ketika menjadi target penyerangan oleh sekelompok massa setelah aksi damai pada 21 Mei malam. Hal itu tampak pada adanya banyak petugas kepolisian yang terluka.
Namun yang luput dari penjelasan polisi adalah menjelaskan ke publik terkait pelaku penembakan sehingga mengakibatkan korban tewas di pihak warga masyarakat.
“Narasi yang beredar hari ini terkesan mengarahkan wacana bahwa semua korban yang tewas adalah ‘perusuh’, dan seakan ingin ‘mewajarkan’ kematian mereka sebagai konsekuensi logis yang dari tindakan mereka dalam insiden ‘kerusuhan’, " kata Usman.
Menurut Usman, seharusnya polisi mengungkapkan bukti-bukti yang memadai tentang penyebab kematian mereka terlebih dahulu. Setelah itu mengumumkan siapa-siapa yang patut diduga sebagai pelaku penembakan terhadap mereka.
“Ini menyakitkan bagi keluarga korban yang hari ini berharap polisi mengumumkan ke publik siapa yang melakukan penembakan kepada korban, tapi justru mendapat penjelasan sepihak bahwa seakan mereka semua adalah ‘perusuh’, " kata Usman.
Amnesty mengaku telah menemui sejumlah keluarga korban. Pihak keluarga mengungkapkan harapan mereka bahwa pelaku pembunuhan itu ditemukan untuk kemudian dibawa ke pengadilan. Harus ada akuntabilitas atas sembilan kematian tersebut.
Hal lain yang luput dari penjelasan kepolisian hari ini adalah akuntabilitas atas penggunaan kekuatan berlebihan oleh sejumlah aparat kepolisian dalam aksi tersebut. Salah satunya adalah dugaan penyiksaan yang terjadi di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Sama sekali kita tidak mendengar penjelasan terkait insiden dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan tersebut. Anggota Brimob yang melakukan pemukulan dan penganiayaan di Kampung Bali harus diproses hukum secara adil. Komandan Brimob juga perlu dimintai pertanggungjawaban terkait tindakan brutal yang dilakukan oleh anak buahnya," ujar Usman.
Demonstran terlibat kericuhan saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Polri belum juga menyimpulkan pihak yang bertanggung jawab atas meninggalnya sembilan orang dalam rangkaian kerusuhan 22 Mei 2019. Namun polisi menduga sembilan orang yang meninggal itu bagian dari kelompok perusuh.
"Kita harus sampaikan, bahwa sembilan korban meninggal dunia kami duga penyerang, perusuh. Duga ya, diduga perusuh," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal di Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, Selasa (11/6).
Terkait penyebab meninggalnya korban, di mana beberapa di antaranya diketahui karena peluru tajam, Iqbal tetap menegaskan, personel Polri tak dibekali peluru tajam. "Perlu beberapa kali saya sampaikan, personel pengamanan baik Polri dan TNI tidak dilengkapi peluru tajam," kata dia.