REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Koalisi Ibukota telah membuka pos pengaduan calon penggugat. Hal ini guna mengajukan gugatan terkait pencemaran udara Jakarta.
Hasilnya, ada 37 calon penggugat selama pos dibuka pada 14 April hingga 14 Mei 2019. Mereka warga yang merasa dirugikan akibat buruknya udara Ibu Kota. Akan tetapi, menurut pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza Tiara, pihaknya harus melakukan verifikasi terhadap para calon penggugat tersebut.
"Kita buka satu bulan ternyata sudah ada 37 yang mau menggugat pemerintah, tapi memang kita verifikasi lagi dong, kita enggak mungkin sembarangan, ini orang harus punya legal standing segala macam," ujar Ayu saat dihubungi Republika, Jumat (7/6).
Ayu mengatakan, gugatan akan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juni 2019 ini. Ia mengaku, LBH Jakarta telah melakukan riset dan kajian selama satu tahun terkait pencemaran udara di Ibu Kota ini bersama para aktivis dan organisasi non-pemerintah (NGO) yang fokus terhadap hal ini.
Ia menyebutkan, diantaranya bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Greenpeace, dan aktivis lainnya. Ayu menjelaskan, gugatan ini dilakukan karena tak ada upaya yang efektif dari pemerintah menyelesaikan permasalahan pencemaran udara.
Ia mengatakan, melalui kesepakatan bersama, pihak tergugat antara lain Presiden Republik Indonesia terkait dengan peraturan pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kesehatan terkait koordinasi upaya yang harus efektif."Selama ini kementerian-kementerian kita kerjanya sektoral, artinya tidak efektif," kata Ayu.
Kemudian, gugatan juga dihadapkan pada pemerintah provinsi (Pemprov) dalam hal ini Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, dan Gubernur DKI Jakarta. Sebab, kata dia, kota-kota di sekitar Jakarta turut mengundang pencemaran udara seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
"Karena udara kan, nyatanya udara itu bergerak lintas batas, kita pernah melakukan kajian polusi yang ada di Banten saja itu bisa tersebar sampai ke Lampung," lanjutnya.
Ia melanjutkan, ada PP Nomor 41 tahun 1999 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 terkait upaya-upata efektif mengatasi pencemaran lingkungan. Ada juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
"Ternyata setelah kita melakukan kajian ada Peraturan Pemerintah, itu langkah-langkahnya sudah ada, amanat pemerintah itu harus melalukan langkah-langkah yang efektif namun tidak secara rigid langkah-langkahnya seperti apa," jelas Ayu.
Ia mengatakan, untuk di DKI Jakarta memiliki baku mutu udara ambien khusus yang berlaku di daerahnya. Baku Mutu Udara Ambien Provinsi DKI Jakarta (BMUAD Jakarta) diatur dalam Lampiran I Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Ayu, pemerintah juga menyumbang pencemaran udara dengan membakar sampah di tempat pembuangan sampat sementara. Padahal, sampah tak justru hilang, tetapi menimbulkan masalah baru dengan bahan-bahan kimia yang menguap ke udara.
Selain itu, uji emisi kendaraan bermotor yang harus dilakukan secara berkala. Ayu menuturkan, masih banyak ditemukan kendaraan-kendaraan dengan asap knalpot yang hitam masih mengaspal sehingga mengotori udara Jakarta.
"Dan itu harusnya ada pengecekan emisi secara berkala. Lihat saja bus saja sudah bisa mengeluarkan asap hitam tetap bisa beroperasi itu bagaimana," katanya.