Ahad 02 Jun 2019 06:27 WIB

Merancang Masa Depan Palestina-Israel

Solusi dua negara tidak diangkat dalam rancangan perdamaian Palestina-Israel.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Elba Damhuri
Aksi solidaritas di London mendukung rakyat Palestina. Aksi juga dihadiri aktivis Palestina Ahed Tamimi.
Foto: Al Araby
Aksi solidaritas di London mendukung rakyat Palestina. Aksi juga dihadiri aktivis Palestina Ahed Tamimi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Cetak biru perdamaian Timur Tengah yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS) masih belum selesai setelah hampir dua tahun dirancang. Draf perdamaian ini merupakan rencana besar AS untuk mengakhiri konflik antara Palestina dan Israel. Inisiasi tersebut didorong oleh penasihat Gedung Putih sekaligus menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner.

Sumber-sumber di Palestina dan Arab Saudi disebut telah diberikan pengarahan tentang rancangan rencana perdamaian tersebut. Dalam rancangan itu, Kushner tidak mengedepankan solusi dua negara. Solusi ini merupakan formula AS dan internasional agar Palestina mendapatkan kemerdekaan dan hidup berdampingan bersama Israel.

Para pejabat Palestina mengatakan kepada Reuters, secara politis kesepakatan perdamaian itu akan memperluas wilayah Gaza ke bagian utara Mesir. Nantinya wilayah tersebut akan berada di bawah kendali Mesir.

Palestina akan mendapatkan bagian yang lebih kecil di Tepi Barat dan beberapa daerah di pinggiran Yerusalem serta tidak ada kontrol atas perbatasan mereka. Beberapa sumber di negara Barat dan Arab telah mengonfirmasi garis besar rencana tersebut.

Desas-desus mengenai ekspansi wilayah Palestina ke Gurun Sinai Mesir telah ditepis oleh utusan Trump di Timur Tengah, Jason Greenblatt. Dia mengatakan, dalam rancangan perdamaian tersebut tidak digunakan istilah solusi dua negara.

"Kami percaya bahwa menggunakan frasa dan label tertentu tidak membantu karena mereka kurang detail. Mereka memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Setelah dirilis, rencana tersebut akan menunjukkan apa yang kami pikir mungkin solusi terbaik untuk kedua belah pihak," ujar Greenblatt, Sabtu (1/6).

Kushner dan Trump tampaknya memanfaatkan konflik Palestina dan Israel sebagai sebuah transaksi. Washington menginisiasi konferensi ekonomi dengan negara-negara Timur Tengah di Bahrain pada Juni ini.

Namun, rencana tersebut kemungkinan akan ditunda karena terjadi pergolakan politik di Israel, di mana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu harus bertarung dalam pemilihan umum kedua setelah gagal membentuk pemerintahan. Adapun konferensi ekonomi tersebut diboikot oleh para pengusaha dan pejabat Palestina.

"Kami tidak mengusulkan perdamaian ekonomi. Kami tahu itu tidak dapat diterima oleh Palestina. Kami sudah sangat jelas bahwa rencana perdamaian tersebut sudah lengkap, termasuk komponen politik juga. Namun, rencana ekonomi adalah komponen penting untuk rencana penuh," kata Greenblatt.

Penolakan keras

Perjanjian perdamaian yang diinisiasi oleh AS ditolak oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan kelompok Hamas. Abbas telah memboikot hubungan politik dengan pemerintahan Trump selama 18 bulan.

Hal ini menyusul sejumlah kebijakan Trump yang dinilai merugikan Palestina, mulai dari mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel hingga memindahkan kedutaan AS ke wilayah tersebut. Kebijakan lain yang membuat Palestina geram, yakni Washington mendukung kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.

Sejak saat itu, pemerintahan Trump membatasi bantuan kepada Otoritas Palestina dan menutup perwakilan Palestine Liberation Organisation (PLO) di Washington. Selain itu, AS juga memotong dana bantuan kepada UNRWA, yakni sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memberikan batuan kepada pengungsi Palestina.

"Hari ini, solusi dua negara telah dibatalkan," ujar pemimpin senior Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement