REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menghapus operasi yustisi (justicia) atau kependudukan pada tahun 2019. Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, operasi yustisi sudah dihentikan sejak 2018 lalu dengan alasan Jakarta milik seluruh warga Indonesia.
Anies mengatakan, Pemprov DKI sekarang menggantinya dengan layanan bina kependudukan bukan operasi. Tujuannya, bagi mereka yang akan bekerja di Jakarta membawa dokumen kependudukan lengkap untuk dilayani kependudukannya di DKI. "Bahkan DKI pernah lho punya gubernur yang KTP-nya bukan DKI, Pak Jokowi itu dari Solo, KTP-nya Solo. Boleh jadi calon gubernur di Jakarta? Boleh," ujar Anies di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (1/6).
Menurut Anies, tak ada ledakan pendatang baru ke Jakarta usai arus mudik Lebaran tahun lalu. Ia pun memperkirakan hal serupa tak terjadi pada tahun ini.
Alasan penghentian operasi yustisi, Anies menjelaskan prinsip kesetaraan. Warga negara Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mengadu nasib di kota manapun.
Menurut dia, selama ini operasi yustisi hanya menjaring kalangan bawah dan tak menyentuh kalangan atas. Padahal pendatang baru yang pergi ke ibu kota berasal dari berbagai latar belakang.
Anies mengatakan, pendatang baru itu hanya masalah catatan kependudukan. Bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan di Jakarta tak memiliki keterampilan dan kompetensi, akan ditentukan sendiri oleh mekanisme lapangan kerja.
"Itu artinya, kalau tidak ada yang bisa ditawarkan (kompetensi) ya tidak ada serap tenaga kerja. Ya dengan sendiri mereka akan mencari tempat lain. Yyatanya mereka butuh lapangan kerja jadi mau di Jakarta atau di mana," jelas Anies.