REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) menyebut bukti tautan berita yang diajukan tim hukum kubu oposisi tidak memiliki kekuatan hukum. Sekretaris TKN KIK Hasto Kristiyanto menilai, tautan berita tak bisa dijadikan dasar atas perbedaan perolehan suara kedua pasangan calon (paslon).
"Yang otentik itu berdasarkan dokumen C1 dan kemudian juga berdasarkan pernyataan para saksi," kata Sekretaris TKN KIK Hasto Kristiyanto di Jakarta, Senin (27/5).
Menurut Hasto, kubu oposisi seharusnya mengedepankan aspek politik dengan tidak melupakan bukti-bukti primer yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Dia mengatakan, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno harus bisa menjelaskan perbedaan selisih suara lebih dari 16 juta.
"Ya, tentu saja bukti ini di dalam sengketa pemilu kan harus memiliki dampak terhadap hasil perolehan suara," kata Hasto.
Melihat bukti tersebut, Hasto optimistis TKN dapat menghadapi permohonan sengketa pemilu oleh BPN di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada saat yang bersamaan, dia mengatakan, TKN juga akan menyipakan jawaban terkait dalil permohonan yang digugat BPN.
"Hukum ini kan berdasarkan bukti-bukti material dan fakta-fakta, tidak bisa hukum didasarkan pada perasaan atau dugaan. Itu yang (harus) disampaikan oleh mereka," katanya.
Hasil rekapitulasi KPU menghasilkan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin mengantongi suara terbanyak dalam pemilu 2019. Paslon 01 unggul dengan perolehan 55,5 persen berbanding 45,5 persen suara bagi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Kubu 02 lantas menolak hasil tersebut dengan alasan Pemilu 2019 penuh dengan kecurangan sehingga memutuskan untuk membawa permasalahan itu ke MK. Berdasarkan berkas gugatan yang diajukan, BPN meminta MK untuk menyatakan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin didiskualifikasi.