Senin 27 May 2019 02:36 WIB

Nasib Inggris Kini

Inggris harus membayar sekitar Rp 707 triliun untuk bisa keluar dari Uni Eropa.

 Ani Nursalikah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

"Brexit means Brexit". Barangkali itulah frase yang paling diingat dari Theresa May. Perdana Menteri Inggris itu gagal mengantarkan Inggris keluar dengan mulus dari Uni Eropa.

Dengan menahan air mata, May mengakuinya di akhir pidato pengunduran dirinya di depan pintu Downing Street Nomor 10. Setelah tiga tahun memimpin Inggris dan dengan dibayangi tekanan Brexit, ia pun akhirnya mundur.

May mengatakan ia merasa terhormat bisa memimpin negara yang ia cintai. Ia juga menyesal tidak mampu mewujudkan Brexit. Menurutnya, pemilihan perdana menteri baru merupakan langkah terbaik bagi Inggris.

May akan tetap menjabat sebagai perdana menteri hingga partai Konservatif memilih pemimpin baru. Dia akan secara resmi melepas jabatan pada 7 Juni.

May mundur setelah usulannya untuk mengantarkan Inggris keluar dari Uni Eropa tiga kali mental di parlemen. The Guardian menyebut, sebanyak 32 menteri mengundurkan diri sepanjang May menjabat. Pengunduran diri teranyar diajukan oleh Andrea Leadson dari kabinet, Rabu lalu.

Para pemimpin Uni Eropa merespons mundurnya May dengan menggarisbawahi mereka akan tetap berpegang pada kesepakatan yang ditandatangani akhir tahun lalu. Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan terima kasihnya pada May, dan menambahkan perjanjian antara Uni Eropa dan Inggris soal Brexit masih bisa dirundingkan.

Lantas, bagaimana kelanjutan Brexit? Dilansir di BBC, Inggris seharusnya secara resmi keluar dari blok Eropa itu pada 29 Maret 2019. Dalam tataran praktis, tidak ada perubahan signifikan mulai 29 Maret 2019 hingga 31 Desember 2020. Satu hal yang pasti, yang sudah disepakati kedua pihak adalah Inggris harus membayar sekitar Rp 707 triliun untuk bisa keluar dari Uni Eropa.

Namun, May bukan hanya tentang Brexit. Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mengatakan kenaikan kemiskinan di Inggris adalah hal yang memalukan bagi pemerintah.

Corbyn mengatakan, sejak 2010 kemiskinan anak naik menjadi 500 ribu, kemiskinan usia produktif naik menjadi 200 ribu, dan kemiskinan yang dialami pensiunan menjadi 400 ribu. Menurutnya, kebijakan penghematan telah memperburuk keadaan bagi masyarakat miskin.

Mengutip kolomnis Guardian, Owen Jones, jangan lupakan juga kebijakan luar negeri May. Kebijakan yang ia maksud adalah penjualan senjata kepada Turki dan penjualan senjata pada Saudi yang kemudian digunakan untuk berperang di Yaman.

May adalah perdana menteri perempuan kedua di Inggris setelah Margaret Thatcher juga berasal dari Konservatif. May menjadi perdana menteri Inggris menggantikan David Cameron sebagai pemimpin Partai Konservatif pada Juli 2016. Di Inggris ketua partai berkuasa secara otomatis menjadi perdana menteri.

Britannica menyebut May memulai karier politiknya pada 1986 sebagai konselor. Sebelum menjadi perdana menteri, May menjabat sebagai menteri dalam negeri selama enam tahun.

 

Kontestasi kursi perdana menteri telah dimulai. Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt menjadi menteri kabinet pertama yang mengumumkan akan menggantikan May. Mantan menteri luar negeri Boris Johnson juga telah mengumumkan ia akan maju memperebutkan jabatan tersebut.

Selain itu, dua orang lagi yang sudah menyatakan akan bersaing adalah menteri Pembangunan Internasional Rory Stewart dan mantan menteri pekerjaan dan pensiun Esther McVey.

Ketua Partai Konservatif Brandon Lewis mengonfirmasi nominasi pengganti May akan ditutup pada 10 Juni. Kemudian, anggota parlemen Konservatif akan melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara final akan dilakukan dan hasilnya diumumkan saat musim panas pertengahan Juli.

Siapa pun yang kelak terpilih, akan mengemban tanggung jawab mengantarkan Inggris keluar dari Uni Eropa. Dia harus bisa mencapai konsensus di parlemen yang gagal dilakukan May.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement