Ahad 26 May 2019 20:41 WIB

Aparat Dinilai Langgar HAM di Aksi 22 Mei, Ini Respons Polri

Bareskrim mengidentifikasi video-video yang menampilkan kebrutalan aparat.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Kabidpenum Puspen TNI Kolonel Sus Taibur Rahman (kiri) dan Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (kanan) saat menyampaikan situasi terkini pascakericuhan Aksi 22 Mei di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Sabtu (25/5/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Kabidpenum Puspen TNI Kolonel Sus Taibur Rahman (kiri) dan Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (kanan) saat menyampaikan situasi terkini pascakericuhan Aksi 22 Mei di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Sabtu (25/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyaknya dugaan kekerasan aparat pada sejumlah pihak dalam kerusuhan 22 Mei 2019 memunculkan tekanan pada pihak kepolisian untuk menindak anggota yang berlaku sewenang-wenang. Dalam hal ini, Polri mengklaim, tim investigasi bentukan Kapolri mulai bekerja.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo menuturkan, tim itu dibentuk di bawah Pimpinan Inspektur Pengawasan Umum Komjen Pol Moechgiyarto. Tim itu bekerja sama dengan Lembaga Hukum lmparsial.

"Itu proses detail mengumpulkan bukti di lapangan dan pemeriksaan. Baru mulai dan rapat menyusun rencana tindak lanjut, kita menunggu laporannya. Dari propam akan menyelidiki," kata Dedi saat dikonfirmasi.

Dedi menyatakan, pihaknya tak bisa menyimpulkan adanya kekerasan berdasarkan video yang beredar di media sosial. Polri beralasan, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri perlu mengidentifikasi terlebih dahulu video-video yang menampilkan kebrutalan aparat.

Terkait dugaan adanya penggunaan peluru tajam, Polri juga tetap menegaskan, aparat keamanan tidak ada yang menggunakan peluru tersebut. Dedi menyatakan, Polri tidak menurunkan tim dengan bekal senjata peluru tajam. Polri justru balik menuduh oknum massa perusuh, di mana ditemukan sejumlah senjata api pada 18 dan 19 Mei 2019.

"Polisi menangkap enam tersangka dengan barang bukti satu senjata laras panjnag dan dua laras pendek. Itu indikasi kelompok itu memainkan demo menjadi ajang rusuh. Sebagai martir membuat rusuh dan menyalahkan aparat," kata dia.

Gabungan kelompok masyarakat sipil menemukan indikasi adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat kericuhan terjadi di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 21 dan 22 Mei lalu. Korban dari pelanggaran HAM itu terdiri dari berbagai kalangan dan usia.

"Korban dari berbagai kalangan, yaitu tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi, dan dari berbagai usia," ujar perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, pada konferensi pers di Jakarta Pusat, Ahad (26/5).

Selain itu, Isnur menjelaskan, mereka juga menemukan adanya penyimpangan dari hukum dan prosedur dalam penanganan aksi tersebut. Hukum dan prosedur itu, di antaranya KUHAP, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Hak Anak, Perkap 1/2009, Perkap 9/2008, Perkap 16/2006 tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap 8/2010, dan Perkap 8/2009.

Ia menuturkan, dengan temuan-temuan tersebut, gabungan koalisi masyarakat sipil memberikan beberapa rekomendasi. Setidaknya ada lima rekomendasi yang mereka berikan. Pertama, mereka merekomendasikan lembaga pemantau kepolisian untuk lekas mengevaluasi kinerja petugas Polri pada kericuhan itu.

"Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi III dari DPR RI untuk segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi 21 dan 22 Mei dalam insiden-insiden yang berpotensi merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.

Kemudian, Polri mereka rekomendasikan untuk mengumumkan kepada publik secara rinci laporan penggunaan kekuatan yang sudah sesuai prosedur tersebut. Itu dilakukan dengan mempublikasi dua formulir penggunaan kekuatan.

"Perlawanan-Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan dan Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian," terang dia.

Menurutnya, Polri sudah sejak lama selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal. Tetapi, itu semua dilakukan tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement