Ahad 26 May 2019 20:34 WIB

Aksi 22 Mei Rusuh, Kontras: Elite 01 dan 02 Provokatif

Elite dari dua kubu pilpres dinilai sama-sama memperkeruh keadaan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
 Koordinator KontraS Yati Andriyani.
Foto: Republika/ Wihdan
Koordinator KontraS Yati Andriyani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan kelompok masyarakat sipil menilai pernyataan elite politik dari kedua kubu menjadi penyebab terjadinya kericuhan 21-22 Mei. Kedua belah pihak terus-menerus melontarkan pernyataan publik yang semakin memperkeruh keadaan baik sebelum maupun sesudah penetapan pemenang pemilihan presiden (pilpres).

"Tercatat elite politik dari kubu 01 dan 02 telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif, siar kebencian (hate speech) bahkan pelintiran kebencian (hate spin)," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Ahad (26/5).

Baca Juga

Menurutnya, kedua belah pihak terus melontarkan pernyataan publik yang semakin memperkeruh keadaan. Karena itu, alih-alih mendinginkan suasana, pernyataan kedua kubu tersebut justru semakin memperburuk situasi sejak sebelum dan setelah penetapan pemenang Pilpres oleh KPU.

"Pernyataan provokatif mereka direspons secara cepat di lapangan. Pernyataan-pernyataan elite politik dari kedua kubu menunjukkan kegagalan mereka dalam melakukan self-cencorship atas ucapan-ucapannya, seperti Wiranto dan Amien Rais," terangnya.

Yati menuturkan, pertarungan di dunia digital itu meluas. Hal tersebut diikuti pula oleh para pendukungnya, baik siar kebencian bahkan pemelintiran kebencian. Ada beberapa kata kunci yang digunakan untuk menimbulkan sentimen ataupun kemarahan publik.

"'komunis', 'PKI', Cina, teroris, radikal dan lain sebagainya," jelas dia.

Di samping itu, gabungan koalisi masyarakat sipil sudah memiliki 15 temuan awal dari peristiwa kericuhan 21-22 Mei lalu. Dari temuan-temuan itu disimpulkan, ada indikasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama peristiwa itu berlangsung.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, Lokataru Foundation, Amnesty, dan LBH Pers melakukan pemantauan saat kericuhan terjadi. Temuan-temuan itu dijadikan sebagai laporan awal untuk dilaporkan ke lembaga pengawas pemerintah yang ada.

Temuan terhadap peristiwa itu terkait dengan pecahnya insiden, korban, penyebab, pencarian dalang, tim investigasi internal kepolisian, indikasi kesalahan penanganan demonstrasi, penutupan akses tentang korban oleh rumah sakit, penanganan korban yang tidak segera.

Temuan berikutnya terkait dengan penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi dan merendahkan nartabat, hambatan informasi untuk keluarga yang ditahan, salah tangkap, kekerasan terhadap tim medis, penghalang-halangan meliput kepada jurnalis yang terdiri dari kekerasan, persekusi, perampasan alat kerja, perusakan barang pribadi. Temuan selanjutnya, yakni terkait dengan penghalangan akses kepada orang yang ditangkap untuk umum dan advokat, dan pembatasan komunikasi media sosial.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement