Sabtu 25 May 2019 18:13 WIB

Amnesty International Soroti Potensi Pelanggaran HAM

Aksi 22 Mei yang berujung rusuh dan tindakan represif aparat harus diinvestigasi.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andri Saubani
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia mendesak Kepolisian dan Komnas HAM untuk segera bersama-sama melakukan investigasi yang independen dan menyeluruh terhadap segala bentuk potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi setelah aksi 22 Mei 2019 di Jakarta. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, para pelaku kekerasan, apakah itu berasal dari kepolisian maupun pihak-pihak dari luar yang memicu kerusuhan, harus diinvestigasi dan dibawa ke muka hukum untuk diadili.

Rentetan aksi kekerasan terjadi setelah demonstrasi pada 22 Mei berlangsung di antaranya adalah penyerangan asrama Brimob di Petamburan, Jakarta Barat. Lalu jatuhnya korban tewas sebanyak delapan orang yang beberapa diantaranya disebabkan oleh luka tembak dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat dalam menangkap salah seorang warga di Kampung Bali, Jakarta Pusat.

"Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga telah menyebutkan bahwa terdapat tiga anak tewas pasca aksi 22. Harus ada investigasi mendalam dan menyeluruh untuk mengungkap fakta yang sebenarnya dan segera mengadili para pelaku,” kata Usman dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (25/5).

Menurut Usman, indikasi pelanggaran HAM berupa perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia oleh aparat dalam melakukan penangkapan seseorang yang diduga sebagai ‘perusuh’ di Kampung Bali. Seperti yang terlihat dalam video yang viral di media sosial dan telah dikonfirmasi oleh kepolisian.

Hal itu menunjukkan bahwa kepolisian gagal dalam menerapkan prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Ini dianggap pelanggaran serius terhadap SOP kepolisian itu sendiri karena apapun status hukum seseorang, aparat tidak boleh memperlakukan ia secara kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia.

"Aparat yang melakukan pemukulan harus diadili dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Usman.

Terkait kerusuhan pasca aksi 22 Mei, Amnesty International Indonesia sadar bahwa asrama Brimob telah diserang oleh sekelompok orang beberapa jam setelah protes massal berakhir Selasa malam. Namun lembaga ini menilai, respons kepolisian terhadap serangan semacam itu tetap harus proporsional.

Meski pemolisian demonstrasi adalah tugas yang sulit, apalagi ketika terdapat sejumlah orang telah melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kekerasan, adalah penting bahwa jajaran kepolisian tetap menghormati kaidah-kaidah hukum hak asasi manusia. Kaidah ini tidak boleh dilupakan. Aparat dibenarkan untuk dapat menggunakan kekuatan, tetapi itu hanya jika benar-benar diperlukan dan harus bersifat proporsional.

“Jadi jelas terlihat adanya indikasi pelanggaran HAM yang terjadi setelah demonstrasi 22 Mei, oleh karena itu penting untuk memastikan Komnas HAM secara aktif terlibat dalam melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti dugaan pelanggaran HAM yang terjadi,” kata Usman.

Amnesty International Indonesia juga menyayangkan pemerintah Indonesia mengambil langkah menerapkan restriksi terhadap platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp dan Twitter selama beberapa hari setelah aksi 22 Mei. Walaupun pembatasan tersebut telah dicabut oleh pemerintah per 25 Mei 2019, Amnesty International mengingatkan pemerintah bahwa langkah ceroboh tersebut adalah pelanggaran hak orang untuk mendapatkan informasi dan lebih besar lagi adalah pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement