REPUBLIKA.CO.ID, "Saya belum boleh mengambil jenazah adik saya kalau belum diautopsi, lihat saja nggak boleh, baru bisa melihat dan diambil pukul 16.00 WIB (Rabu, 22/5)," kata Anjas (30 tahun), kakak korban meninggal dalam aksi 21 Mei di sekitar gedung Bawaslu, Jakarta.
Anjas kecewa dengan perlakuan itu. Kekecewaannya bukan tanpa alasan. Sejak 22 Mei pagi pukul 07.00 WIB, ia sudah menunggu di RS Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta, untuk bisa segera membawa pulang jenazah sang adik, Abdul Ajiz (27). Namun, dia mengaku tak diizinkan sebelum menandatangani persetujuan autopsi.
"Seperti pemaksaan untuk diautopsi, mau lihat saja nggak boleh kalau keluarga nggak tanda tangan persetujuan autopsi, masak kita keluarga nggak boleh sekadar lihat (jenazah) saja," kata dia di Banten, Jumat (24/5). Sementara itu, pihak keluarga di rumah terus menanyakan keadaan Ajiz.
Anjas juga merasa kasihan kepada jenazah adiknya jika terlalu lama dikebumikan. Di tengah kebingungan itu, Anjas akhirnya menandatangani perizinan autopsi. "Sekitar pukul 14.00 WIB, saya tanda tangani izin keluarga untuk autopsi, mau gimana lagi saya sudah bingung," ujar Anjas.
Abdul Ajiz adalah salah seorang korban meninggal saat aksi 21 Mei di Bawaslu. Menurut Anjas, adiknya meninggal dengan luka seperti tertembus peluru di punggung dan tangannya. Namun, Anjas mengaku kepastian penyebab kematiannya tidak dijelaskan secara gamblang saat selesai autopsi.
"Di surat keterangan nggak jelas karena apa penyebab meninggalnya. Ada orang yang bilang karena gas air mata, ada yang bilang karena tembakan di tangan, masak karena itu adik saya langsung meninggal," kata Anjas.
Setelah dilakukan autopsi 22 Mei sore, Anjas membawa jenazah adiknya ke rumah orang tuanya di Kampung Rocek Barat, Pandeglang, Banten, dengan biaya ambulans sendiri. Sesampainya di rumah, Anjas dan orang tuanya baru bisa melihat dengan jelas tubuh Ajiz saat prosesi memandikan jenazah.
"Masa yang terlihat luka itu punggung dan tangan, kepala juga diperiksa. Jadi memang nggak ada penjelasan lengkap saat di rumah sakit. Selesai autopsi saja saya cuma bisa lihat wajahnya karena jenazahnya sudah ditutup kain rapat," kata dia.
Keikutsertaan Ajiz dalam aksi sebenarnya tidak diketahui pihak keluarga. Keluarga hanya tahu Ajiz hendak ke rumah saudara dan almarhum juga memang sedang memondok di salah satu pesantren di Kuningan, Jakarta.
Namun, Anjas dan orang tuanya mengaku sudah ikhlas dengan kepergian Ajiz. Keluarga juga mengaku bangga atas keberanian dan perjuangannya dalam mengutarakan pendapat.
Johani mengaku, meninggalnya korban adalah pukulan berat bagi dia dan keluarga. Namun, di sisi lain, Johani mengaku bahagia dengan perjuangan anaknya menyuarakan pendapat di Jakarta, meskipun akhirnya Ajiz kembali ke rumah dalam keadaan tidak bernyawa.
"Dia itu mujahid, menyuarakan pendapat untuk bangsa, saya sudah ikhlas atas ketetapan Allah pada anak saya," ujar Ayah Ajiz, Johani (57), saat ditemui Republika.
Dia mengaku kecewa atas perlakuan pembunuh anaknya yang biadab dan tidak manusiawi dengan menyakiti tubuh hingga luka seperti bekas tembakan di punggung dan tangannya. "Saya tidak nuntut untuk mencari orang yang membunuh anak saya. Pembalasan dari Allah itu pasti ada karena Tuhan Mahaadil, saya sudah pasrah," ujar Johani.
Suasana saat terjadinya bentrokan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5) malam. Aksi tersebut berlangsung ricuh.
Hal serupa diungkapkan paman Ajiz yang juga mengikuti aksi pada 21 Mei, Latif (38). Menurut dia, meninggalnya sang keponakan sudah menjadi takdir yang harus diterima.
Sedangkan cara meninggalnya yang sementara ini diduga karena tembakan menjadi hal yang memberatkan hati keluarga. "Kenapa diperlakukan seperti itu, seperti bukan manusia, kita aksi damai, ke Jakarta saja diperiksa ketat jadi nggak ada niatan untuk perang kota atau rusuh," ujar Latif.
Kedatangan para peserta aksi, menurut dia, hanya ingin mengutarakan pendapat saja, tidak dilandasi dengan kepentingan iming-iming materi. Latif mengatakan, beberapa aksi yang dilakukannya bahkan sampai harus menggadaikan motor miliknya untuk ongkos menuju tempat aksi demo.
Adapun terjadinya kerusuhan pada malam hari saat demo, kata dia, adalah akibat provokasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, hingga akhirnya berujung pada meninggalnya keponakan dan peserta demo. Latif juga menceritakan keseharian Ajiz yang menurutnya taat menjalankan ibadah dan gemar menuntut ilmu agama.
"Bawaannya sehari-hari itu kalau nggak kitab (kajian agama) ya Alquran, jadi saya rasa meninggalnya dalam keadaan syahid," ucap Latif.
Latif menuturkan, pihak keluarga tidak menuntut banyak kepada pihak berwenang terkait pengusutan meninggalnya Ajiz. Dia menilai, saat ini tidak banyak pihak yang bisa dipercaya dalam menegakkan keadilan.
"Yang jadi backing kami hanya Allah, kami hanya bersandar kepada-Nya, cuma Allah yang bisa membalas perilaku orang-orang yang berlaku seperti ini," ujarnya.
Kepolisian mengatakan tidak menggunakan peluru tajam dalam pengamanan saat kerusuhan terjadi di sejumlah titik di Jakarta pada Selasa (21/5) dan Rabu (22/5). Mabes Polri juga membantah adanya penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian saat melakukan penangkapan para perusuh.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, soal penggunaan peluru tajam sejak awal sudah diantisipasi. "Tidak ada aparat Polri dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang melakukan itu (penggunaan senjata api dan peluru tajam)," ujar dia. (alkhaledi kurnialam/bambang noroyono ed:mas alamil huda)