REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden nomor urut 01, Prabowo Subianto sempat enggan mengambil langkah ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas hasil rekapitulasi nasional pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Namun, karena desakan dari sejumlah daerah maka Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno mengubah pendirian dan memutuskan untuk menempuh upaya konstitusi.
"Karena Pak Prabowo mendengar aspirasi dari sejumlah daerah. Sebenarnya terus terang saja, kami mengalami distrust kepada institusi hukum tapi karena ada desakan dari daerah-daerah maka kami memutuskan langkah hukum," terang koordinator juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak kepada para wartawan di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (21/5).
Sementara untuk bukti-bukti yang bakal dibawa ke MK sudah cukup banyak, terutama dari daerah-daerah yang disinyalir adanya kecurangan dalam Pilpres 2019. Bahkan, kata Dahnil, bukti dari sejumlah daerah dinilai cukup membuktikan adanya upaya kecurangan secara terstruktur sistematis masif dan brutal atau TSMB. Bukti ini yang mendorong BPN Prabowo-Sandiaga memutuskan untuk ke MK.
"Ada banyak masukan dari daerah-daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua, NTT, Sumatera Utara, daerah-daerah itu sudah menyiapkan banyak bukti-bukti pelanggaran kecurangan TSMB," terang Dahnil.
Sebelumnya, Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon pernah mengatakan bahwa pihaknya tidak akan membawa laporan dugaan kecurangan Pilpres 2019 ke MK. Sebab, langkah hukum melaporkan kecurangan Pemilu ke MK dianggap dinilai tidak efektif.
Hal itu berkaca dari pengalaman pada Pilpres 2014 lalu. Pada saat itu pihaknya membawa bukti hingga 19 truk form plano CI, namun tak diperiksa oleh MK.
"Pengalaman mengajukan ke MK pada 2014 dengan sejumlah bukti kecurangan yang begitu besar berkontainer-kontainer waktu itu saksinya memang kita bagi tugas ada dari PKS, tapi tidak ada satu box pun yang dibuka MK," kata Fadli.