Senin 20 May 2019 09:52 WIB

Dari TP Rachmat ke Arif P Rachmat, Sebuah Regenerasi

Upaya regenerasi keluarga TP Rachmat sedang menapak jalan yang benar.

Nasihin Masha
Foto:

Ya, akibat hoaks, bangsa Indonesia kini sedang terbelah ke dalam dua kelompok besar. Seolah keduanya sulit dipersatukan dan justru terus diaduk emosinya. Rasionalitas sudah tak lagi menjadi state of minds kita semua. Para elite dan cerdik pandai sudah merasuk ke dalamnya, mengikuti alur emosi dan kepentingan sesaat. Semua seolah sedang memainkan irama zero sum game, ikut atau ketinggalan.

Tentu Arif tak bicara sedetail itu. Namun kita semua memang bisa merasakan kondisi semacam itu. Dalam kondisi kerumunan seperti saat ini, memang benar kata Arif, semua tergantung pada para pemimpinnya. Mau dibawa ke mana bangsa ini.

Namun Arif menyampaikan isi hatinya yang terdalam untuk memecahkan problem semua itu: meritocracy base on diversity or multiculturalism. Apa maksudnya? Uraian saya ini barangkali bisa membantu memahami apa yang ia maksud. Kecakapan, keahlian, kemampuan, dan semacamnya harus menjadi penjuru dalam memecahkan persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Tak hanya itu, kecakapan tersebut harus memperhatikan aspek kemajemukan.

Ya, cakap saja tak cukup. Bangsa ini terlalu majemuk untuk bisa diselesaikan hanya dengan kecakapan. Karena untuk cakap butuh sumberdaya ekonomi dan akses. Nah, tak semua kelompok sosial memiliki prasyarat itu. Karena itu, warna majemuk harus tetap dijaga agar kohesi sosial tetap terpelihara. Dalam konteks ini, akhirnya akan kembali kepada kepemimpinan yang paham terhadap persoalan dan realitas bangsanya.

Akhirnya, Arif mengingatkan bahwa di depan ada dua hal yang harus diselesaikan: investment climate dan labour force. Iklim investasi dan kondisi ketenagakerjaan. Soal iklim investasi terutama berkelindan dengan aspek koruptif yang masih melanda birokrasi. Sedangkan soal buruh terkait dengan keunggulan kompetitifnya. Dua hal itu juga saling terkait. Inilah pekerjaan rumah pemerintah saat ini dalam menggerakkan mesin ekonomi.

Setelah didaulat Kemal E Gani, ketua Forum Pemred yang diminta ikut memberikan sambutan, Teddy akhirnya tampil juga. Singkat saja, dan lebih banyak mengajukan pertanyaan. Menurutnya, kondisi ekonomi dunia sebetulnya tak terlalu jelek. Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS sekitar 2%, China 6%, dan Eropa 0,5%. Pada sisi lain, inflasi dan suku bunga juga turun.

Namun Teddy bertanya, mengapa Indonesia hanya mampu tumbuh 5%? Sedangkan Vietnam bisa 7% dan Filipina bisa 6%. “Kita harus introspeksi,” katanya. Hari libur Indonesia, katanya, dua kali lebih banyak dibandingkan dengan Vietnam. Produktivitas buruh Vietnam juga lebih baik daripada buruh Indonesia. Sehingga wajar jika investasi datang ke Vietnam, bukan ke Indonesia.

Jika kita cermati, pernyataan Teddy tersebut untuk menjawab pertanyaan Arif. Sang anak mencoba lebih santun dan butuh jam terbang untuk lebih percaya diri. Namun pidatonya hari itu merupakan sebuah awal yang sangat baik. Upaya regenerasi keluarga Rachmat sedang menapak jalan yang benar.

Arif adalah generasi ketiga keluarga Rachmat. Generasi pertamanya adalah Rafael Adi Rachmat, yang menikah dengan Agustine. Proses regenerasi yang sukses dari setiap entitas ekonomi sangat penting bagi keberlanjutan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement