Senin 20 May 2019 09:52 WIB

Dari TP Rachmat ke Arif P Rachmat, Sebuah Regenerasi

Upaya regenerasi keluarga TP Rachmat sedang menapak jalan yang benar.

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha, Mantan Pemred Republika

Sudah tujuh tahun TP Rachmat mengadakan buka puasa bersama dengan sejumlah wartawan senior, seperti Karni Ilyas, Suryopratomo, Asro Kamal Rokan, Kemal E Gani, dan lain-lain. Saya termasuk beruntung selalu diundang, walau tak selalu bisa hadir.

Berbeda dengan buka puasa dengan yang lain-lain, TP Rachmat selalu menyelenggarakannya dengan cara sederhana. Cukup menyewa sebuah ruangan yang kecil di sebuah hotel. Tak ada pangggung. Hanya ada meja dan hidangan makanan.

Di awal-awal diadakan di Hotel Mandarin, tapi kemudian beralih di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan. Semuanya di Jakarta. Setelah berbuka dan solat Maghrib, acara ditutup dengan pidato oleh TP Rachmat, lalu diakhiri dengan foto bersama.

Sesi terbaik dari buka puasa dengan TP Rachmat adalah pidatonya. Biasanya memaknai peristiwa terkini. TP Rachmat adalah pribadi yang sahaja dan cenderung pendiam. Oranngnya ramah dan murah senyum. Pandangannya selalu optimistik.

Ia hanya akan berpidato singkat, padat, datar, dan suara lembut. Hampir tanpa emosi. Profil taipan ini merupakan ciri umum dari pengusaha dari kelompok generasi awal Astra.

Ya, TP Rachmat adalah generasi awal Astra, sebuah raksasa kelompok usaha otomotif yang kini mulai merangsek ke agroindustri dan infrastruktur. Perusahaan ini didirikan oleh William Soeryadjaja, bersama kerabatnya sesama Tionghoa asal Majalengka, Jawa Barat.

Namun akibat kesalahan bisnis yang dilakukan Edward Soeryadjaya, dengan penuh tanggung jawab William menjual Astra untuk menanggung masalah yang dibuat Edward.

TP Rachmat juga berasal dari Majalengka. Pria kelahiran 15 Desember 1943 ini berasal dari Kadipaten, Majalengka. Kini ia memiliki tiga anak: Christian Ariano Rachmat, Arif Patrick Rachmat, dan Ayu Patricia Rachmat.

TP adalah kependekan dari Theodore Permadi, namun lebih akrab dipanggil Teddy. Ia lulus dari Teknik Mesin ITB pada 1968. Teddy masih keponakan William. Karena itu ketika William mendirikan Astra, Teddy diajak bergabung.

Ia mengawali kariernya sebagai sales. Pada 1984 ia menjadi CEO Astra selama 15 tahun. Setelah itu, pada 1998 ia merintis usaha sendiri dengan mendirikan Group Triputra – pada 2000-2002 ia kembali diminta menjadi CEO Astra. Namun kemudian ia kembali untuk merintis bisnisnya sendiri di bidang pertambangan, perkebunan, manufaktur, serta perdagangan dan jasa.

Hidup Teddy penuh filosofi. Dalam berbisnis ia selalu berpegang pada landasan etis dan sosial. Menurut data Forbes, Teddy adalah orang kaya ke-17 di Indonesia dengan kekayaan 1,7 miliar dollar AS.

Pada buka puasa bersama 15 Mei 2019 lalu, kali pertama Teddy meminta anak keduanya – sepertinya anak yang disiapkan untuk menjadi penggantinya – untuk memberikan pidato. Tak lagi dirinya. Memang sejak awal, Teddy selalu mengajak Arif dan Ayu untuk ikut berbuka puasa bersama.

Walau anak seorang taipan, keduanya selalu ramah dan berinisiatif untuk mengenalkan diri. Sambil menyebutkan namanya dan menyorongkan kartu nama, keduanya berkeliling mengenalkan diri. Setelah itu mereka duduk di belakang.

Keduanya rendah hati seperti ayahnya. Bahasa tubuh dan raut wajahnya tak memperlihatkan rasa jumawa. Juga tak berusaha menonjolkan diri dengan rasa bangga dan rasa hebat. Hingga kemudian, pada tahun ini, Arif diminta ayahnya untuk berpidato di depan para wartawan senior.

Arif kelahiran Jakarta, 1 Juli 1975, sehingga tahun ini akan berusia 44 tahun. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Santa Ursula dan pendidikan menengah pertama di SMP Kanisius. Keduanya di Jakarta. Sedangkan SMA di Georgetown Prep, AS. Ia kuliah S1 dan S1 di Cornell University dalam bidang Operation Research and Industrial Engineering.

Dengan penuh senyum dan intonasi yang datar serta nada suara yang lembut – persis seperti ayahnya, walau sedikit lebih bersemangat – Arif menguraikan pikirannya dengan runtut, jernih, jelas, dan tegas. Juga dengan tata bahasa yang baik. Tentu pidato singkat itu tanpa teks. Durasi pidato yang mirip kultum itu, seperti halnya ayahnya,

Arif mengurai kondisi ekonomi yang berbasis situasi sosial. Menurutnya, teknologi selain membantu umat manusia juga memiliki sisi jahatnya. Ia memberi peluang pada manusia untuk menunjukkan sisi kelamnya. Arif menunjuk meruyaknya hoaks yang kini sedang menghimpit bangsa Indonesia saat ini. Ia tak berpretensi untuk mengangkat telunjuknya pada pihak mana hoax itu sedang bekerja.

Arif hanya merujuk pada kita semua. “Sekarang apa keputusan kita: menyatukan atau ikut memecah belah. Di sini unsur leadership sangat mengambil peran penting,” katanya. Sekali lagi ia tak merujuk pada figur atau pihak tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement