Senin 13 May 2019 18:24 WIB

Sekjen KONI Akui Berat Hati Suap Pejabat Kemenpora

Hari ini Ending membacakan nota pembelaan atas tuntutan jaksa KPK.

Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy (kiri).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indoensia (KONI) Ending Fuad Hamidy mengaku dengan berat hati memberikan suap untuk sejumlah pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Hari ini Ending membacakan nota pembelaan atas tuntutan jaksa KPK.

"Pengurus semua mengeluh dan curhat atas lambatnya pencairan dana hibah KONI. Dana hibah baru bisa dicairkan dan saya terkejut dan berat hati sebagai Sekjen untuk memberikan commitment fee dan saya melaporkan ke ketua KONI yang akhirnya memutuskan untuk memberikan sesuai permintaan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi menteri," kata Ending di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (13/5).

Baca Juga

Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Ending dengan pidana penjara selama 4 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti bersama-sama Bendahara Umum (Bendum) KONI Johny E Awuy dinilai terbukti menyuap Deputi IV bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana dengan satu unit mobil Fortuner, uang Rp 400 juta dan satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 (sekira Rp 900 juta) serta Asisten Olahraga Prestasi pada Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Adhi Purnomo dan Staf Deputi IV Olahraga Prestasi Kemenpora Eko Triyanta senilai Rp 215 juta.

Tujuan pemberian hadiah tersebut adalah agar Mulyana, Adhi dan Eko membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI Pusat kepada Kemenpora tahun 2019. "Berat untuk memberikannya karena bagaimana membuat laporan pemberian uang? Tidak mungkin dibuat kuitansi memberikan uang kepada Menpora, tapi setelah pengurus KONI menyanggupi untuk membuat laporan mengenai operasional sekjen termasuk membuat daftar penerima berdasarkan apa yang dibacakan Miftahul Ulum dan fakta persidangan menerangkan bahwa sudah terealisasi fee tersebut dan tidak mungkin memberi kalau tidak diminta," jelas Ending.

Ending pun berharap agar hibah KONI jangan dipotong karena KONI pun masih kurang pendanaan. "KONI sudah berusaha keras dan sungguh-sungguh mengubah sistem tata kelola hibah KONI dengan membuat satker (satuan kerja) KONI sendiri dengan didukung ASN yang ditugaskan sesuai ketentuan perundangan. Kami juga sudah beraudiensi ke Kemenkeu, Bappenas, Kemenpan-RB dan bahkan wakil presiden yang semua arahannya seragam yaitu mengajukan proposal perubahan sistem dana hibah yang harus disetujui Kemenpora yang selama ini mengurus dana hibah KONI," tambah Ending.

Selama 4 tahun berusaha dan meminta agar dana hibah tidak lagi diurus oleh Kemenpora akhirnya Menpora pun menyetujui permintaan tersebut. Seperti dalam fakta persidangan, Imam Nahrawi baru saja memberikan persetujuan Satker KONI tidak lagi di bawah pengelolaan Kemenpora.

"Walau terlambat tapi paling tidak akan lebih baik, transparan, akuntabel membawa angin segar bagi prestasi olahraga. Artinya setelah saya dan Pak Johny jadi korban maka ada ada satker sendiri untuk KONI," ungkap Ending.

Ending juga mengaku menyesal di usia tuanya ia harus duduk di kursi terdakwa. Apalagi, ia sebelumnya adalah wiraswasta selama 30 tahun dan sudah mempekerjakan 2.000 pekerja namun sejak kasus itu muncul usaha itu pun mengalami kesulitan dan sudah merumahkan 125 orang pekerja.

"Tuntutan jaksa juga mengejutkan karena keterangan di sidang sudah saya berikan terang-benderang karena saya tidak mendapat status justice collaborator. Kasus ini mengajarkan banyak hal yang mana persahabatan yang tulus dan yang tidak karena dalam perjalanan kasus semua menyangkal dan membela diri," tambah Ending.

Ia juga memohon maaf bagi para rekan kerjanya secara khusus komunitas olahraga. Namun, ia mengaku kasus ini terjadi karena bobroknya sistem di Kemenpora.

"Mau tidak mau saya melakukan ini. Posisi KONI Pusat bagaikan makan buah simalakama demi terlaksananya pelatihan atlet, pelatih, wasit dan Asian Games," tegas Ending.

JPU KPK memang menolak permohonan Ending untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum karena dinilai belum memenuhi syarat untuk dapat dikabulkan. Vonis dijadwalkan akan dibacakan pada Senin, 20 Mei 2019.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement