Sabtu 11 May 2019 00:03 WIB

Literasi Politik Bentengi Milenial dari Penyebaran Hoaks

Maraknya penyebaran hoaks menandakan rendahnya literasi.

Ngobrol Milenial dengan tema “Pasca Pilpres, Generasi Milenial Bisa Apa?” ini diadakan di Kedamaian Resto yang berlokasi di jalan Bugisan, pekan lalu.
Ngobrol Milenial dengan tema “Pasca Pilpres, Generasi Milenial Bisa Apa?” ini diadakan di Kedamaian Resto yang berlokasi di jalan Bugisan, pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA – Dalam konteks demokrasi di Indonesia, dinilai perlu literasi politik dan politik digital yang dileburkan di dalam kurikulum pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia. Literasi politik ini dinilai penting untuk membentengi kaum milenial dari penyebaran hoaks. 

Direktur LPM Universitas Krisnadwipayana Abdullah Sumrahadi mengatakan ada istilah ‘intelektual publik’ ialah orang yang tidak memiliki gelar pendidikan tinggi namun mampu mempengaruhi khalayak umum. “Misalkan, saja seperti kelompok music rock SLANK, mereka mempopulerkan kata peace (damai) dengan lambang V yang diulang-ulang sehingga kini diyakini bahwa damai adalah hal nilai yang disadari oleh semua kalangan dan diabadikan melalui perilaku yang nyata,” kata Abdullah dalam siaran persnya, Jumat (10/5).

Hal tersebut disampaikan Abdullah dalam diskusi yang bertajuk Ngobrol Milenial (Ngomel) dengan tema “Pasca Pilpres, Generasi Milenial Bisa Apa?” ini diadakan di Kedamaian Resto yang berlokasi di jalan Bugisan, pekan lalu. Diskusi yang digelar komunitas Pelatar bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), Universitas Krisnadwipayana, Madrasah Digital, dan BEM KM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. 

Narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut, yakni Hamzah Fansuri (sosiolog Jaringan Intelektual Berkemajuan), Faris Al-Fadhat, PhD (dosen HI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Budhi Hermanto (pengamat media sosial yang juga pengurus Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah), dan Cahyo Prabowo, pendiri Pelatar.

Hamzah Fansuri lebih menekankan bagaimana batas antara ruang nyata dan maya yang semakin kabur. Aktivitas maya telah menjadi bagian dari aktivitas nyata. Sehingga menurutnya, bersosial media, menjadi bagian dari dunia digital adalah suatu keharusan bagi anak milenial. “Namun yang pasti, setiap kita harus memahami apa yang kita lakukan,” ujarnya.

Generasi milenial lanjutnya, adalah generasi yang memiliki makna tersendiri atas arti sebuah pengaruh, eksistensi dan keterlibatan publik melalui sosok influencer seperti Atta Halilintar dan Ria Ricis.

Faris Al-Fadhat, PhD menyoroti bagaimana masa depan intelektualitas di Indonesia, khususnya bagi generasi muda. “Seorang intelektual harus memosisikan diri sebagai pelita yang mencerahkan bukan justru memperkeruh perseteruan. Namun saat ini istilah intelektual sering kali diperdagangkan untuk kepentingan politik tertentu,” ujar Faris.

Sementara dari perspektif ormas, Budhi Hermanto menegaskan jika generasi milenial perlu paham sejarah ormas khususnya yang berbasis keagamaan di mana Muhammadiyah dan NU adalah yang tertua dan terbesar jaringan di nusantara. Karena menurutnya, ormas-ormas yang baru muncul belakangan ini sejatinya tidak memiliki pengaruh berarti di akar rumput. Dan dengan melek sejarah, generasi milenial diharapkan tetap responsif terhadap setiap gejolak sosial politik yang mengedepankan nalar transformatif dan berkemajuan.

Cahyo Prabowo mengutarakan bahwa orang yang tidak memiliki kuota dianggap tidak milenial seketika. Sebab dunia maya adalah bagian nyata dalam kehidupan kita. Dan media sosial telah menjadi bagian penting dari pertarungan politik kita hari ini. Setiap saat hoaks diproduksi dan disebarkan yang menandakan rendahnya literasi, terkhusus literasi politik. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement