REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan karakter seharusnya menjadi keniscayaan sebagai benteng menyaring nilai, pandangan, dan sikap intoleransi dan radikalisme yang dapat mengarah pada kekerasan dan terorisme. Dalam konteks itulah pendidikan karakter saat ini menjadi bagian paling penting sebagai nilai dalam setiap pelajaran di sekolah untuk menjadikan masyarakat yang bermoral, beradab dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan bangsa. Minimnya tokoh-tokoh yang bisa menjadi panutan masyarakat di negeri ini membuat para generasi milenial ini seolah-olah tidak memiliki panutan.
Pengamat pendidikan nasional, Darmaningtyas, mengatakan bahwa dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, seharusnya pendidikan karakter pada era sekarang ini, mau tidak mau harus berlandaskan kepada kebudayaan yang ada di daerah setempat.
“Ini agar para anak-anak generasi milenial ini bisa mengerti mengenai apa yang menjadi budaya yang ada di daerahnya masing-masing, apalagi budaya bangsa ini sangat melimpah. Sehingga pendidikan karakter itu nantinya akan kembali tumbuh pada jiwa para generasi milenial itu,” ujar Darmaningtyas, akhir pekan lalu.
Namun sayangnya menurutnya anak-anak muda sekarang ini sudah kurang begitu berminat kepada nilai-nilai yang sifatnya normatif. Karena pendidikan karakter itu mau tidak mau sifatnya itu normatif. Sementara para generasi milenial ini menolak hal-hal yang sifatnya normatif, apalagi eksistensi para generasi milenial ini berasal dari dunia global.
Ia memberikan contoh, di era generasi dirinya atau generasi X dulu masih ada pertunjukan kebudayaan seperti wayang. Sehingga yang menjadi referensi saat itu adalah para tokoh atau figur di dalam pewayangan yang menggambarkan mana yang baik dan mana yang buruk di tokoh-tokoh tersebut.
“Tentu beda dengan generasi sekarang ini yang referensinya sudah tidak itu lagi. Tantangan lain sekarang ini adanya serbuan media global itu juga sangat gencar. Selain itu penanaman nilai-nilai yang berlandaskan pada kebudayaan juga cenderung minim,” ujar alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.
Selain itu menurutnya, kelemahan yang menjadi problem yang ada pada bangsa sekarang ini kalau membicarakan tentang pendidikan karakter selalu di identikkan dengan pendidikan Agama. Yang mana sekarang ini penyelesaiannya lebih kepada menambahkan mata pelajaran Agama
“Padahal seharusnya tidak demikian. Karena seperti kesenian, sastra, olahraga, pramuka itu mestinya bisa menjadi media untuk dijadikan sebagai wahana pendidikan karakter. Ini yang saya kira banyak tantangan dan kendalanya,” tuturnya.