Kamis 02 May 2019 19:35 WIB

Cerita Penjual Olahan Daging Anjing di Solo

Solo disebut sebagai pusat perdagangan daging anjing di Pulau Jawa.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Indira Rezkisari
Aktivis penyayang anjing peliharaan yang tergabung dalam Koalisi Dog Meat Free Indonesia membentang spanduk saat aksi damai di depan Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (25/04/2019). Dalam kampanye tersebut mereka mengajak masyarakat untuk berhenti mengkonsumsi daging anjing dan berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Solo mengambil tindakan atas maraknya warung kuliner olahan daging anjing di Solo.
Foto: Antara
Aktivis penyayang anjing peliharaan yang tergabung dalam Koalisi Dog Meat Free Indonesia membentang spanduk saat aksi damai di depan Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Kamis (25/04/2019). Dalam kampanye tersebut mereka mengajak masyarakat untuk berhenti mengkonsumsi daging anjing dan berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Solo mengambil tindakan atas maraknya warung kuliner olahan daging anjing di Solo.

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Hasil investigasi dari komunitas Dog Meat Free Indonesia (DMFI) menunjukkan, Kota Solo menjadi pusat dari perdagangan daging anjing di Pulau Jawa. Investigasi tersebut menyebutkan, ada 82 warung yang terang-terangan menjual daging anjing di Solo.

DMFI juga mendapatkan angka 13.700 anjing yang dikonsumsi di Solo setiap bulan. Republika mencoba menelusuri warung yang menjual olahan daging anjing, Rabu (1/5). Berdasarkan edaran Wali Kota Solo beberapa tahun lalu, Pemkot memberikan batasan penyebutan nama bagi warung yang menjual olahan anjing dengan nama rica-rica guguk atau satai guguk dengan diberi gambar kepala anjing.

Baca Juga

Dari empat warung rica-rica guguk yang didatangi, tiga di antaranya tutup. Beruntung, warung keempat buka. Warung Rica-Rica Guguk Pak Kardi tersebut merupakan milik Sukardi (64). Warung tersebut beralamat di kampung Banyuanyar, RW 10, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari, Solo.

Warung tersebut berupa bangunan seperti kios dengan hanya satu sisi dinding di belakang. Sejumlah pembeli terlihat menyantap makanan di warung tersebut.

Sukardi menyambut dan menjawab pertanyaan dengan terbuka. Pria asli Solo tersebut mengaku telah berjualan makanan olahan daging anjing sejak 1979 atau sudah berjalan 40 tahun. Saat itu usianya baru 24 tahun.

"Masalahnya tidak ada pekerjaan. Dulu tidak sekolah karena tidak ada biaya," jelasnya saat ditanya alasan berjualan makanan tersebut.

Awalnya, Sukardi membuka warung di sebelah Jembatan Komplang, tak jauh dari warungnya saat ini. Saat itu warungnya hanya terbuat dari tenda. Kemudian, saat ada penataan dari Pemkot sekitar tahun 2010, Sukardi memindahkan warungnya ke lokasi sekarang.

Sukardi mengaku mendapatkan suplai bahan baku dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Dia membeli anjing hidup kemudian memyembelih sendiri di rumahnya. Dalam sehari, Sukardi bisa menyembelih satu sampai dua ekor anjing.

Beragam menu olahan daging anjing dijual di warung Sukardi, di antaranya satai, tongseng, rica goreng, rica basah, dan satai goreng. Dia mematok harga Rp 18 ribu per porsi, sudah termasuk nasi dan es teh.

Namun, tak setiap hari warungnya tersebut ramai. Terkadang, jika dagangan tidak habis, Sukardi terpaksa membuangnya. Warung tersebut buka setiap hari pada pukul 10.30-18.00 WIB.

"Yang membedakan dengan warung lain itu rasa dan harga. Bumbunya lain. Ada resep rahasia," ujarnya enggan memberi tahu resep rahasia tersebut.

Dia mengakui, warung miliknya tersebut sudah cukup terkenal di wilayah Solo dan sekitarnya. Bahkan, dia memiliki pelanggan dari luar provinsi, seperti dari Surabaya, Jakarta, Cirebon, sampai Sumatra.

Puluhan tahun berjualan olahan daging anjing tak selalu berjalan mulus bagi bapak tiga anak tersebut. Dia mengaku pernah mendapatkan omongan kurang baik dari lingkungannya

"Jualan cari nafkah yang penting tidak mencuri. Saya tidak pengalaman jualan yang lain, jadi tidak kepikiran jualan yang lain," ujarnya.

Di sisi lain, Sukardi juga mengamini adanya mitos yang memercayai manfaat kesehatan setelah mengonsumsi daging anjing. "Bisa untuk kesehatan. Makan ini bisa untuk menangkal DBD. Dari pelanggan ada yang bilang begitu juga," ujarnya.

Seorang pembeli di warung Sukardi, Elang (20), mengaku sudah menjadi langganan warung tersebut sekitar lima tahun terakhir. Warga Banyuanyar tersebut menilai makanan di warung Sukardi berbeda dengan warung lain. "Rasanya gurih dan pedas dan harganya standar," ucapnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement