Kamis 02 May 2019 16:19 WIB

Militansi Anak Muda di Situng KPU

Di KPU Jakarta Barat, 36 dari 45 operator situng merupakan mahasiswa.

Relawan mengentri data dan pindai form C1 hitung cepat berbasis aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu tahun 2019 KPU Se-Provinsi DKI Jakarta, Sabtu, (20/4).
Foto: Republika/Prayogi
Relawan mengentri data dan pindai form C1 hitung cepat berbasis aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) Pemilu tahun 2019 KPU Se-Provinsi DKI Jakarta, Sabtu, (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU) mendapat sorotan setelah momen puncak pesta demokrasi usai pada 17 April 2019. Terhitung satu hari setelah pemungutan suara, sistem real count ini mulai dipantau oleh masyarakat.

Situng dimaksudkan sebagai informasi publik yang aktual, bisa diakses secara cepat oleh masyarakat. Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja di balik sistem ini harus memiliki pengetahuan teknologi dan kecakapan mengerjakan data yang mumpuni.

Baca Juga

Di KPU Kota Jakarta Barat, misalnya, dari 45 orang yang operator yang ditugaskan mengurusi situng untuk wilayah tersebut, 36 orang adalah mahasiswa tingkat akhir.

Seorang di antara mereka, Utami Nur Kholifah (23 tahun), menyebut dia dan kawan-kawan setidaknya mempunyai empat kriteria terbaik sebagai operator situng: segar, mau belajar, militan, dan kuat begadang. Utami, yang akrab dipanggil Tami itu, mengerahkan stamina anak muda dalam melakukan tugas.

Dia bercerita, di hari pertama sampai ketiga, dia bekerja 18 jam. Mulai pukul 10 pagi, dia baru bisa beristirahat sekitar pukul 4 dini hari.

Tiga hari pertama tersebut merupakan waktu krusial untuk memasukkan data ke dalam situng. Formulir C-1, hasil penghitungan di setiap tempat pemungutan suara (TPS), terus berdatangan.

"Kami pasukan berani mati, tapi takut lapar," ucap Tami berseloroh, belum lama ini.

Dengan status sebagai mahasiswa tingkat akhir di UIN Jakarta, Tami harus pintar membagi waktu. Dia melakukan bimbingan skripsi dengan dosen pada pagi sampai siang hari, kemudian melakukan tugas memasukkan data ke Situng pada siang sampai malam hari.

Militansi Tami tak semata-mata karena uang. Bagi dia, yang utama adalah pengalaman belajar, mengetahui sistem yang menjadi bagian dari pesta demokrasi akbar ini.

Hal tersebut tidak terlepas dari preferensi karier Tami sebagai pekerja demokrasi. Dia memproyeksikan diri untuk menjadi komisioner KPU pada pemilu lima tahun mendatang.

Abdul Choliq Akbar (26), operator Situng lain di KPU Kota Jakarta Barat, mempunyai sikap yang tidak jauh beda dengan Tami. Abdul menyebut bahwa sampai saat ini, dia bahkan tidak mengetahui bagaimana perhitungan upah atas pekerjaannya. Namun dia percaya akan diberikan yang setimpal.

Perihal upah bukan yang utama, Abdul lebih ingin belajar mengenai sistem penghitungan suara langsung dari dalam. Selain itu, menambah teman dan jejaring adalah hal lain yang ingin dia dapatkan dari pekerjaan ini.

Baik Tami maupun Abdul sepakat bahwa menjadi operator Situng adalah kebanggaan tersendiri.

Tami menyebut kebanggan itu muncul karena dia berada dalam lingkaran utama yang mengetahui data peta perpolitikan dari Pemilu serentak 2019. Sementara Abdul bangga karena dia bisa mengetahui dan bahkan turut serta menjalankan sistem yang penting pada pemilu kali ini.

 

Meski sudah bekerja siang-malam, anggapan curang terus bermunculan. Tuduhan itu datang dari pihak-pihak yang tak puas dengan hasil hitung cepat di hari-H, yang serta merta tidak mudah menerima informasi yang tampil di situng.

Sebagian masyarakat menganggap KPU pilah-pilih data yang dimasukkan ke sistem, sehingga perolehan suara sementara dinilai menjiplak hasil hitung cepat. Muncul wacana bahwa KPU berbuat curang.

Orang-orang di balik situng jelas mendengar wacana-wacana itu. Terlebih, isu semacam ini berkembang cepat lewat media sosial, wahana temu masyarakat di zaman digital.

Tami merasa tak enak hati ketika hasil pekerjaannya dibilang curang. Karena dengan begitu, sama saja dia dianggap tak profesional.

Dengan beban pekerjaan teknis yang berat, anggapan masyarakat ini juga membuatnya mendapat beban psikis.

Namun dalam menyikapi hal yang demikian, Tami biasanya berseloroh. Daripada merespons berlebihan, dengan marah misalnya, dia malah sering menjawab dengan "Kalau mau sini, deh, bertukar pekerjaan dengan saya,"

Sementara itu, Abdul berpendapat, kesalahan memasukkan data yang dianggap kecurangan merupakan human error. Dan, hal itu wajar terjadi.

Senada dengan Tami, Abdul mengatakan tidak mempunyai waktu untuk melakukan manipulasi data, karena tugasnya saja sudah sangat menyita waktu. "Saya sampai tidak ada waktu untuk main games yang biasanya saya mainkan di handphone," kata Abdul bercanda.

Soal anggapan kecurangan, Ketua KPU Kota Jakarta Barat, Cucum Sumardi, juga ikut berkomentar. Menurut dia, mekanisme dalam memasukan data ke situng sangat jelas dan terbuka. Formulir C-1 dari setiap TPS dipilah berdasarkan wilayah kelurahan. Formulir tersebut kemudian dipindai, dan data angka yang tercantum dimasukkan ke dalam sistem. Data yang sudah masuk pun masih harus melalui verifikasi sebelum akhirnya terbit di situng.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement