REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengakui banyak pihak yang memprotes jam kerja petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dibiarkan bekerja non-setop selama pemilu. Dia menegaskan ada penyebab padatnya beban kerja KPPS itu.
Terkait tudingan tersebut, Arief menjelaskan bahwa KPU sebenarnya berada pada posisi menjalankan perintah Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "KPU kan diprotes dicacimaki, KPU nggak manusiawi karena orang nonsetop, kerja terus nggak pakai istirahat, loh UU mengatakan pemungutan suara dan penghitungan harus selesai di hari yang sama, artinya tanggal 17 April harus selesai," ujar Arief dalam diskusi bertajuk 'Silent Killer Pemilu' di Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4).
Kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan waktu tambahan tanpa jeda selama 12 jam jika penghitungan suaranya tidak selesai pada hari yang sama. Artinya, MK membolehkan petugas KPU menyelesaikan penghitungan suara sampai 12 siang hari berikutnya sehingga tidak ada perdebatan hukum soal penghitungan suara.
"Maka KPU perintahkan ke petugas di lapangan silakan atur ritmenya, misalnya jam 6 pagi persiapan TPS, jam 7 dibuka, jam 13 ditutup, silakan istirahat, silakan atur iramanya," katanya.
Namun, Arief mengakui bahwa situasi di lapangan kadang membuat ritme yang sudah diatur tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut dia, ada petugas yang tidak makan dan istirahat sesuai waktunya karena ingin menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat.
"Kadang-kadang semangatnya ya udah segera kita selesaikan. Padahal, oleh ahli kesehatan ini kerja yang tidak normal, tidak wajar, artinya lampaui kapasitas, kemampuan sampai ada yang tensinya naik, kepalanya pusing, padahal ini berbahaya," kata dia.
Arief juga mengakui bahwa pemilu serentak 2019 merupakan desain pemilu yang cukup berat. Pasalnya, tahapan-tahapannya sudah diatur secara ketat dan harus tepat waktu.
"Desain pemilu kita 2019 memang ini cukup berat, tahapan-tahapan pemilu harus tepat waktu. Satu-satunya kegiatan yang tahapan diatur ketat itu tahapan pemilu," tutur dia.
Dia menilai, hal tersebut yang membedakan institusi penyelenggara pemilu dengan institusi lainnya. Dia beranggapan intitusi atau departemen lainnya bisa ditinggalkan jika kegiatannya kurang pas atau waktunya dilewati.
"Tetapi kalau penyelenggara pemilu, nggak boleh, hari ini, harus hari ini. Logistik ditentukan satu hari sebelum pencoblosan, kalau nggak tiba, maka lambat," ujarnya.
Sebelumnya, jumlah KPPS yang meninggal dunia terus mengalami peningkatan secara drastis. Hingga Jumat (26/4) malam, tercatat ada 231 KPPS meninggal dunia saat bertugas dalam Pemilu 2019.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan, mengungkapkan hingga pukul 21.00 WIB, sudah ada 2.023 KPPS yang terdampak kesehatannya akibat pemilu. "Jumlah tersebut terdiri dari 231 KPPS yang wafat dan 1.792 KPPS yang jatuh sakit," ujar Viryan dalam keterangan tertulis, Jumat malam.