Kamis 25 Apr 2019 16:00 WIB

KPU Sepakat Usulan Revisi UU Pemilu

KPU berpendapat tata laksana pemiu memang harus direvisi.

Rep: Dian Erika Nugraheny / Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) pihaknya sepakat dengan usulan merevisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. KPU memandang tata laksana pemilu harus direvisi. 

"Ya kami sependapat dengan gagasan para tokoh bangsa. Kami perlu memberikan rekomendasi kebijakan untuk merumuskan, memformulasikan aturan pemilu yang baru," kata Komisioner Wahyu Setiawan ketika dijumpai di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (25/4).

Baca Juga

Menurut dia, poin utama yang harus direvisi adalah keserentakan pemilu. Misalnya, keserantakan tersebut tidak perlu diterapakan untuk pemilu nasional dan daerah.

"Menurut saya, yang harus direvisi adalah tata laksananya. Sebab keserentakan pelaksanaan pemilu mempengaruhi tata laksana pemilu. Kalau kita pisahkan ada pemilu lokal dan nasional kan berarti tata laksana pemilu berubah," kata dia. 

Sebelumnya, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mengusulkan adanya revisi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Menurutnya, ada banyak hal yang harus dievaluasi dalam pelaksanaan pemilu.  

"Begitu pemerintah nanti terbentuk siapapun presidennya, apakah itu Pak Prabowo atau Pak Jokowi, itu pada bulan Oktober membuat program legislasi nasional (prolegnas). Saya minta tahun pertama kami minta agar segera mengevaluasi dan merevisi UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 karena banyak hal yang harus ditinjau," ujar Mahfud kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/4).

Dia melanjutkan, masih banyak lubang-lubang yang menjadi titik kelemahan pemilu saat ini. Kelemahan ini menyebabkan ratusan orang KPPS meninggal dunia dan sakit. 

Selain itu, masih ada puluhan polisi dan pengawas pemilu yang meninggal dunia.  "Harus ditinjau lagi yang dimaksud pemilu serentak itu apa sih? Apakah harus harinya sama? Atau petugas lapangan harus sama sehingga tidak bisa berbagi beban? Atau bagaimana? Ataukah harinya bisa dipisah, atau panitia ditingkat lokal, panitianya bisa dipisah, tetapi dengan kontrol yang ketat?" kata dia. 

Kedua, kata Mahfud, soal sistem pemilu pun harus dievaluasi. Terlebih, soal sistem pemilu yang proporsional terbuka dan proporsional tertutup. 

Sebab, menurutnya, sistem proporsional terbuka seperti saat ini tidak sehat untuk iklim demokrasi. Sementara sistem proporsional terbuka memicu praktik jual beli suara. 

"Ini menjadi masalah skrg di mana sistem mencoblos nama dan parpol itu jual beli suara di internal parpol banyak terjadi. Itu dilakukan diantara mereka sendiri saling jual beli begitu dan itu tidak sehat bagi demokrasi kita," kata Mahfud.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement