Kamis 25 Apr 2019 13:21 WIB

Industri Tekstil Kurangi Produksi Imbas Citarum Harum

Banyak IPAL pabrik tektil tak memenuhi standar baku mutu dalam program Citarum Harum.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Karyawan Toko Mutiara Textile  menata gulungan kain di Pasar Minggu, Jakarta,Jumat(7/12). Kementerian Perindustrian menargetkan pada 2019 ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai US$15 miliar dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,11 juta orang.
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan Toko Mutiara Textile menata gulungan kain di Pasar Minggu, Jakarta,Jumat(7/12). Kementerian Perindustrian menargetkan pada 2019 ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai US$15 miliar dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,11 juta orang.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Program Citarum Harum yang digulirkan pemerintah 2018 lalu berimbas pada industri tekstil khususnya penyelupan di sekitaran Citarum. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Kevin Hartanto, setidaknya ratusan pabrik penyelupan di sekitaran Citarum mengurangi produksi hingga 50 persen. Hal ini dikarenakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dimiliki pabrik tersebut tidak memenuhi standar baku mutu.

“Memang banyak industri yang belum memiliki IPAL atau IPAL-nya tidak sesuai dengan kapasitas,” ujar Kevin dalam acara Cotton Council International (CCI) di Jalan Ir Djuanda Bandung, Kamis (25/4).

Baca Juga

Kevin mengatakan, mau tidak mau, industri memang harus mengikuti standar baku mutu agar tidak lagi mengotori Citarum. Memang, pembenahan ini, membutuhkan waktu yang berbeda untuk setiap pabriknya. Sebab, ada pabrik yang hanya membutuhkan waktu 6 bulan untuk membenahi IPAL.

Namun, kata dia, jika ingin setup IPAL dari awal, waktu yang dibutuhkan mencapai 2 tahun. Selama pembenahan tersebut, pabrik tidak bisa beroperasi dengan maksimal. Saat ini, rata-rata produksi industri penyelupan berkisar di angka 50-70 persen. Ketika pabrik penyelupan bermasalah, maka industri terkait lainnya, ikut terimbas. Misalnya, industri benang ataupun kain.

“Produksi baru akan normal setelah IPAL selesai,” katanya.

Persoalan, kata dia, akan datang seiring tingginya kebutuhan kain di masyarakat, sedangkan produksi menurun. Kondisi ini membuat impor kain, terutama dari Cina semakin menggeliat. Bahkan Kevin mencatat, hingga kini impor kain dari Cina mencapai 80 persen.

Kevin mengaku, ia tidak memegang data detail tentang kenaikan impor pasca program Citarum Harum. Namun Kevin mencontohkan, impor salah satu jenis kain dalam kurun waktu 2017-2018 naik 100 persen. Apalagi, Cina memang begitu gencar mengekspor produknya. Bahkan Cina menguasai 40 persen kebutuhan dana pada produk tekstil.

“Kita (industri tekstil Indonesia) di pasar dunia kurang dari 2 persen. Tapi Cina menguasai 40 persen kebutuhan dunia,” katanya.

Perlu diketahui, Citarum Harum secara normatif diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres)  Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement