REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PLN Sofyan Basir diketahui tidak sedang berada di Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan Sofyan sebagai tersangka kasus suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau -1.
"Saat ini sedang berada di Prancis dalam rangka tugas atau pekerjaan, untuk pulangnya saya belum dapat info," kata Kuasa Hukum Sofyan Basir, Soesilo Ariwibowo dalam pesan singkatnya, Rabu (24/4).
Menanggapi keberadaan Sofyan, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah tak mempermasalahkan keberadaan Sofyan saat ini. Menurut Febri, yang terpenting Sofyan kooperatif saat penyidik membutuhkan keterangannya untuk pemeriksaan.
"Apakah berada di Jakarta berada di luar kota atau berada di luar negeri misalnya untuk melaksanakan tugas silakan saja. Kami harapkan para tersangka atau saksi yang datang ini yang dipanggil itu bisa datang memenuhi panggilan penyidik dan bicara secara benar," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Rabu (24/4)
Karena, sambung Febri, bila ada upaya pihak-pihak tertentu untuk menghalangi penyidikan atau enanganan perkara, KPK memiliki prosedur hukum pidana yang diatur di pasal 21 soal obstruction of justice.
"Dan pihak PLN ataupun BUMN juga sudah menyampaikan akan koperatif. Jadi nanti jika dibutuhkan dalam penyidikan maka akan dipanggil. Waktunya kapan, itu bergantung jadwal dari penyidik," tutur Febri.
Sofyan diduga bersama-sama atau membantu Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR-Rl dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama Pembangunan PLTU Riau-1. Adapun, konstruksi perkara diduga telah terjadi sejak Oktober 2015.
Direktur PT Samantaka Batubara mengirimkan surat pada PT PLN (Persero) yang pada pokoknya momohon pada PT PLN (Persero) agar memasukan proyek dimaksud ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) namun tidak ada tanggapan positif hingga akhirnya Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd) mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dangan PT PLN (Person) untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU 1 (PLTU MT RIAU 1)
"Diduga telah terjadi. Beberapa kali penemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu: SBF, Eni dan Kotjo untuk membahas proyek PLTU," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa (23/4).
Kemudian pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN (Persero) menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelustrikan (PIK), dalam penemuan tersebut diduga Sofyan telah menunjuk Kotjo untuk mengerjakan proyek di Riau (PLTU Riau 1) karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
"Kemudian, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik RUPTL PLN Johanes Kotjo meminta anak buahnya M siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka," ucap Saut.
Setelah itu diduga Sofyan menyuruh salah satu Direktur PT PLN (Persero) agar PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC segera direalisasikan. Sampai dengan Juni 2018 diduga terjadi sejumlah penemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu: Sofyan, Kotjo dan Eni serta pihak lain di sejumlah tempat, seperti Hotel, Restoran. Kantor PLN dan rumah Sofyan
"Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dibahas sejumlah hal terkait proyek PLTU Riau 1 yang akan dikerjakan perusahaan Kotjo seperti, Sofyan menunjuk perusahaan Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau 1," terang Saut.
Kemudian, Sofyan menyuruh salah satu Direktur dl PT. PLN (Persero) untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo. Sofyan juga menyuruh salah satu Direktur di PT PLN (Persero) untuk memonitor karena ada keluhan dari Kotjo tentang Iamanya penentuan proyek PLTU Riau 1.