REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir sebagai tersangka kasus suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Selasa (23/4). Sofyan diduga menerima janji bagian suap yang sama besar dengan jatah Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih dan mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, setelah mencermati fakta-fakta yang muncul dalam persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup. Bukti tentang dugaan keterlibatan Sofyan dalam suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
"KPK kemudian meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan tersangka SFB (Sofyan Basir), direktur utama PT PLN (Persero)," kata Saut di gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/4).
Saut menuturkan, Sofyan diduga bersama Eni dan Idrus menerima hadiah atau janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kerja sama proyek tersebut. Sejak Oktober 2015, Direktur PT Samantaka Batubara yang merupakan anak usaha Blackgold Natural Resources Limited milik Kotjo mengirimkan surat pada PT PLN. Surat itu berisi permohonan agar memasukkan proyek PLTU ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN.
Karena tidak ada tanggapan positif, Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibuka jalan berkoordinasi dangan PT PLN pada 2016. Kotjo mengincar proyek independent power producer (IPP) PLTU Mulut Tambang 1 (MT Riau-1).
"Diduga telah terjadi beberapa kali pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu SBF (Sofyan), Eni, dan Kotjo untuk membahas proyek PLTU," kata Saut.
Dalam pertemuan tersebut, Sofyan diduga telah menunjuk Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 karena PLTU di Jawa sudah penuh dan ada kandidat. Padahal, saat itu Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan belum terbit.
"Kemudian, PLTU Riau-1 dengan ka pasitas 2 x 300 megawatt masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Kotjo meminta anak buahnya, M, siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka," kata Saut.
Setelah itu, Sofyan diduga menyuruh salah satu direktur PT PLN agar PPA PLN dengan BNR dan CHEC segera direalisasikan. Sampai Juni 2018, diduga terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu Sofyan, Kotjo, dan Eni, serta pihak lain di sejumlah tempat.
"Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dibahas sejumlah hal terkait proyek PLTU Riau-1 yang akan dikerjakan perusahaan Kotjo, seperti Sofyan menunjuk perusahaan Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1," kata Saut.
Sofyan menyuruh salah satu direktur PT PLN (Persero) untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo. Sofyan juga memerintahkan salah satu direktur di PT PLN untuk memonitor karena ada keluhan dari Kotjo tentang Iamanya penentuan proyek PLTU Riau-1. "Sofyan juga membahas bentuk dan lama kontrak antara CHEC (Huandian) dengan perusahaan-perusahaan konsorsium," kata Saut.
Menurut Saut, surat penetapan tersangka sudah dikirim ke Sofyan pada Selasa pagi. "Sebagai bentuk pemenuhan hak tersangka," ujar Saut.
Sebelum menjabat sebagai dirut PT PLN pada 2014 lalu, Sofyan telah malang melintang di dunia perbankan. Ia sempat menjabat sebagai dirut BRI sejak 2005 hingga 2014.
Menanggapi penetapan tersangka tersebut kemarin, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pemerintah menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Rida berharap proses hukum tersebut tidak mengganggu pelaksanaan sejumlah proyek ketenagalistrikan.
"Kami tentu saja prihatin. Tapi, kita wajib menghormati proses hukum yang berjalan. Kami berharap hal ini tidak akan banyak mengganggu pelaksanaan proyek-proyek ketenagalistrikan ke depannya," ujar Rida saat dihubungi, kemarin.
Vonis Idrus Marham. Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2019).
Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, pihaknya akan menghormati proses hukum di KPK. Namun, pihaknya tetap memakai asas praduga tak bersalah terhadap Sofyan. "Kalau memang sudah ditetapkan, kita harus menghormati keputusan KPK," kata Edwin.
Penetapan Sofyan menambah jumlah orang yang terjerat dalam kasus PLTU Riau-1. Sebelumnya, Kotjo telah divonis menjadi 4,5 tahun. Sementara itu, Eni telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Eni terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dari Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Pada Selasa, Idrus Marham mendapat vonis tiga tahun dan denda Rp 150 juta. Ketua majelis hakim Yanto menyatakan Idrus terbukti bersalah melakukan korupsi bersama-sama dengan Eni. (dian fath risalah/intan pratiwi/rahayu subekti ed: ilham tirta)