Ahad 21 Apr 2019 06:07 WIB

Tokoh Perubahan Republika: Yenny Wahid

Yenny Wahid menginisiasi dan menyebarkan toleransi melalui desa damai.

Co-Founder Wahid Foundation, Yenny Wahid
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Co-Founder Wahid Foundation, Yenny Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, Yenny Wahid, Pendiri the Wahid Foundation

'Ajarkan Toleransi Melalui Desa Damai'

Oleh: Idealisa Masyrafina

Setiap tahun Republika menggelar penganugerahan Tokoh Perubahan. Mereka yang terpilih adalah sosok- sosok yang memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan melakukan perubahan di tengah masyarakat. Berikut adalah profil mereka.

****

“Orang yang paling bermanfaat adalah orang yang berguna untuk sesama. Tidak boleh hidup hanya untuk diri sendiri.”

Prinsip itu tertanam betul dalam diri Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang lebih akrab disapa Yenny Wahid sejak kecil. Ia tumbuh di tengah kuatnya budaya Islam dan Jawa di kalangan pesantren di Jombang.

Menjadi putri seorang ulama besar KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menempatkan Yenny untuk selalu bersentuhan dengan beragam pemikiran dari berbagai latar belakang agama dan budaya.

Di kampung halamannya, ia mempelajari nilai-nilai keislaman dan kebudayaan Jawa, baik secara teori maupun praktik. Ini menjadi bekal bagi Yenny dan tiga saudara perempuannya untuk melangkah keluar, tidak hanya ke Jakarta tetapi juga mancanegara. Pergaulan sang ayah yang sangat luas hingga mancanegara, membuatnya terekspos ke beragam budaya, pemikiran, dan aliran keagamaan.

“Ini semua sangat membentuk watak kami yang inklusif, menerima bahwa semua orang berhak untuk mempercayai kebenarannya masing-masing. Tidak bisa kita memaksa orang untuk mengikuti jalan kebenaran kita,” tutur Yenny.

Di sisi lain, meskipun diajarkan untuk berpikir progresif, tekanan budaya juga sangat kuat. Melalui Gus Dur, Yenny merasakan keseimbangan sehingga dapat memahami perspektif berbagai pemikiran yang ada.

Bekal itulah yang membawa Yenny lebih berkembang saat bekerja menjadi jurnalis dua media besar Australia, Sydney Morning Herald dan the Age pada masa reformasi.

Cakrawala pemikirannya pun semakin berkembang saat belajar di Harvard pada 2003. Di sanalah dia merasakan bagaimana kehidupan sebagai kaum minoritas Muslim.

Pengalaman saat berinteraksi dengan orang-orang asing di luar negeri bahwa menjadi minoritas akan sangat terasa kalau diberlakukan tidak enak, juga terkesan kalau diperlakukan nyaman. “Dari sana pemikiran toleransi itu mengental,” ujar Yenny.

Adanya keinginan untuk menjembatani perbedaan di Indonesia telah mendorong Yenny mendirikan The Wahid Institute, yang sekarang berubah nama menjadi The Wahid Foundation pada 2004. Yayasan ini pada awalnya menggelar berbagai diskusi mengenai keberagaman dengan mengundang cendekiawan.

Ketika itu Islamofobia berkembang karena serangan teroris 11 September yang menghancurkan gedung World Trade Center di Amerika Serikat. Ditambah lagi, dengan teori pemikir Barat tentang the Clash of Civilization yang banyak dibaca masyarakat dunia.

Yenny bersama teman-temannya berpikir, jika hal ini dibiarkan tentu akan sangat berbahaya. Orang akan selalu menghadap-hadapkan Islam dan Barat atau agama dengan budaya, dan lainnya. “Kita melawan itu dengan gerakan kultural khas Indonesia, yaitu kearifan di sini yang berbasis pada Pancasila,” ujar putri Gus Dur tersebut.

Dasar negara itu menjadi dasar toleransi dan sikap moderasi keagamaan, yang merupakan kekhasan dan kearifan bangsa ini. Masyarakat negeri ini sudah terbiasa dengan perbedaan sehingga dapat mewujudkan pembangunan. Persatuan menjadi kunci untuk mewujudkan kondisi bangsa yang berkemajuan, mendukung investasi, dan pembangunan.

Semangat toleransi tadi didakwahkan lebih luas lagi. Bukan saja dalam diskusi dan tulisan, melainkan juga konsep Desa Damai (peace village). Program ini memakai berbagai pendekatan, tidak hanya transfer nilai, tetapi juga ekonomi dan penguatan perempuan. Penguatan nilai- nilai aparatur negara di tingkat lokal.

Menurut Yenny, program ini sangat penting karena persoalan-persoalan mendasar, seperti keadilan yang berkaitan dengan kesejahteraan, harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengajak mereka berdiskusi.

Desa Damai ini memberikan akses permodalan dan ekonomi kepada ibu-ibu dari berbagai budaya dan agama di desa-desa. Tujuannya untuk membangun dialog di antara mereka sendiri. Targetnya adalah persamaan persepsi sehingga tercipta kerukunan, keguyuban, dan kerja sama.

Ketika ada kerja sama apalagi di bidang ekonomi, maka ada usaha bersama yang banyak orang merasa memiliki sehingga usaha akan menjadi lebih maju. Penghasilan menjadi bertambah. Kesejahteraan meningkat. Kehidupan menjadi lebih bahagia.

Yenny bersama Wahid Foundation mencoba membangun masyarakat yang toleran dan terbuka. Semula ada masyarakat hanya bergaul dengan yang seagama. Jarang sekali bergaul dengan pihak lain. Ibu tiga anak ini kemudian mempertemukan mereka dengan komunitas berbeda. Ibu-ibu pengajian dipertemukan dengan komunitas gereja. Juga dengan kelompok agama lain.

Ia pun bersyukur kearifan menyatukan mereka. Sehingga terciptalah kerja sama konstruktif yang berdampak pada peningkatan taraf hidup. Program yang dibentuk sejak 2012 ini telah membuahkan hasil, dengan sebanyak sembilan desa di Pulau Jawa mendeklarasikan diri sebagai Desa Damai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement