Rabu 17 Apr 2019 06:03 WIB

Rujuk Nasional

Melihat sejarah panjang Nusantara, bangsa kita harusnya bisa melawati Pemilu 2019.

Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.
Foto:

Kembali lagi, cara yang ditempuh Mahbub Djunaedi barangkali bisa diadopsi oleh elite politik yang kini berkontestasi. Sore di hari pemungutan suara 17 April, hasil hitung cepat pilpres sudah bisa dilihat. Dari pengalaman sebelumnya, hasil quick count jarang meleset.

Kontestasi dalam konteks demokrasi bukan soal kuat-kuatan. Kemampuan menerima hasil adalah bagian terpenting dari proses demokrasi itu sendiri. Artinya, setiap yang berkontestasi harus siap menang dan kalah. Biarlah ini terkesan normatif, toh praktik dan faktanya amat susah dipenuhi bagi kontestan dan para pendukungnya, bukan?

Skenario kalah perlu disiapkan kedua kubu. Sebab, ketidaksiapan kalah bisa berubah menjadi kenekatan yang berujung brutal. Kadar dan formulanya tentu berbeda antar elite dan pendukung kontestan.

Bagi pemenang, akan sangat elok jika menawarkan untuk bertemu dengan pihak yang kalah saat hasil quick count sudah masuk seluruhnya. Pemenang harus merangkul yang kalah. Sebaliknya, pihak yang kalah perlu buru-buru untuk mengucapkan ‘selamat’ kepada pemenang.

Skenario ini bisa berlaku jika hasil quick count menunjukkan selisih perolehan suara yang signifikan, alias di atas margin of error. Tapi bagaimana jika selisihnya masih dalam margin of error atau tipis? Keduanya bisa bertemu untuk konferensi pers secara bersama-sama (jangan sendiri-sendiri) menyatakan kesepakatan menunggu hasil hitung manual dari KPU.

Sebab, tak ada yang lebih penting dan mendesak dari kerukunan dan persatuan bangsa Indonesia. Mohon, jangan biarkan kami-kami saling bermusuhan dengan sesama anak bangsa dengan dicekam suasana.

Bagaimana dengan para pendukung? Jangan lagi perlebar kerenggangan yang selama ini terjadi. Kita selama ini ingatnya hanya 01 dan 02. Kita lupa bahwa kita ini sama, INDONESIA. Mari saling merangkul untuk langgengnya persaudaraan. Sapa saudara, teman, tetangga yang berbeda pilihan dan selama ini ‘diam-diaman’.

Ingat, seruncing-runcingnya perseteruan elite politik, mereka akan kembali rukun di Banggar (Badan Anggaran DPR RI) karena samanya kepentingan. Kita? kita yang ‘remah rengginang’ ini akan kehilangan semuanya.

Pada akhirnya Pram bersikukuh enggan masuk dalam keanggotaan NU dengan segala pertimbangannya. Namun, keakraban dan persahabatannya dengan Mahbub terus lekat meski pernah berseberangan secara politik. Pram juga memiliki kedekatan yang istimewa dengan tokoh NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Melihat sejarah panjang Nusantara, dengan segala kedigdayaannya, bangsa ini harusnya dengan mudah melewati Pemilu 2019. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement