Rabu 17 Apr 2019 00:01 WIB

Fitnah terhadap UAS di Era Post-Truth: Terkenang Buya Hamka

Post-truth ialah keadaan ketika fakta objektif kurang berpengaruh ketimbang emosi.

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa*

KPU menggelar debat para calon presiden dan calon wakil presiden putaran kelima di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Sabtu (13/4) malam. Beberapa stasiun televisi menyiarkannya secara langsung sehingga jutaan pasang mata menyaksikan.

Sementara perhatian tertuju pada acara tersebut, niat jahat bergolak dalam diri pihak-pihak tertentu. Mereka—yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya—telah mempersiapkan kata-kata, gambar, serta video. Maksud buruk kemudian mewujud perbuatan atas @saididu.

Akun Twitter itu sebenarnya dimiliki Said Didu. Mantan sekretaris Kementerian BUMN itu menyebut adanya pembajakan atas @saididu saat dirinya meninggalkan Hotel Sultan malam itu. “Pada saat saya keluar, saya (mau) menggunakan Twitter saya, ternyata sudah tidak bisa, dan telah diambil alih oleh orang lain,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Ahad (14/3).

Maka di malam yang sama, sekitar pukul 23.00 WIB, Said Didu menyebut dirinya menerima pemberitahuan (mention) enam hingga tujuh konten via @saididu. Semuanya menjelek-jelekkan mubaligh kenamaan, Ustaz Abdul Somad (UAS).

Konten pertama memfitnah, alumnus Universitas al-Azhar (Mesir) itu telah “mendapatkan dana miliaran rupiah dari Prabowo.” Nama pimpinan redaksi TvOne juga diseret dalam fitnah tersebut. Konten kedua hingga keenam lebih serampangan lagi. Seluruhnya memfitnah ulama 41 tahun itu telah berselingkuh atau main perempuan.

Sebenarnya, masih ada satu konten lagi yang menampilkan video fitnah. Di dalamnya, seorang laki-laki berbicara kepada seorang lainnya sambil menyoroti sebuah rumah. Tidak jelas siapa mereka karena penampilannya sengaja disamarkan. Konten itu memfitnah UAS telah menerima rumah besar karena mendukung Prabowo.

Hingga tulisan ini dibuat, seluruh konten sarat fitnah itu hilang dari akun @saididu, yang diakses via komputer. Bagaimanapun, bila akun yang sama dikunjungi melalui aplikasi (app) Twitter, penulis masih dapat melihat keenam konten fitnah itu. Yang hilang hanya konten ketujuh, yakni video fitnah hasil rekaman video dan drone.

 

Dihubungkan dengan Prabowo?

Pemfitnah yang beraksi melalui @saididu sejak Sabtu (13/4) malam itu jelas berniat membunuh karakter UAS. Adanya nama Prabowo dalam tiap konten fitnah menimbulkan dugaan kuat, pelakunya ingin publik mengaitkannya dengan kecenderungan UAS mendukung calon presiden (capres) tersebut.

Pada Kamis (11/4) lalu, dua hari sebelum sebaran fitnah mengemuka, alumnus S-2 Darul Hadis (Maroko) itu secara terbuka mendukung capres nomor urut 02, Prabowo Subianto. Rekaman dukungan disiarkan stasiun televisi TvOne.

Bila disimak, UAS tidak secara langsung menyampaikan semacam deklarasi (“Ayo pilih fulan”). UAS hadir bukan sebagai tim sukses atau juru kampanye (jurkam). Yang dilakukannya, dua perkara.

Pertama, berdialog dengan ketua umum Partai Gerindra itu. UAS menceritakan banyak hal. Mulai dari pengalamannya safari dakwah (banyak jamaah mendukung 02), kepemimpinan yang adil (mengutip Imam Ahmad bin Hambal), hingga makna dua hadiah yang diberikannya (parfum dan tasbih).

Kedua—yang juga penulis anggap sebagai inti dialog itu—adalah penyampaian amanat. Meski sudah ada ijtima ulama, UAS tidak langsung mengumumkan dukungan.

Dia terlebih dahulu mengunjungi sejumlah ulama-salik yang tidak lain para guru spiritualnya. Setelah masing-masing menyebutkan nama “Prabowo”, barulah UAS meneguhkan pendirian. Dukungannya terhadap Prabowo teguh, sebagaimana teguhnya seorang murid mematuhi arahan guru. Dosen UIN Sultan Syarif Kasim (Riau) itu kemudian merasa, kata-kata para teladannya itu adalah amanat.

“Jadi, saya berpikir lama. Ini kalau saya diamkan sampai pilpres (Rabu, 17/4), (tapi) kenapa mereka (para ulama sufi) cerita ke saya? Tiap malam saya berpikir, berarti saya harus sampaikan. Kalau tidak, berarti seumur hidup nanti saya (kemudian) mati dalam penyesalan, 'Abdul Somad, kenapa kau tidak ceritakan? Setelah ketemu ini (dengan Prabowo), selesai. Kuserahkan semua kepada Allah SWT. Apa yang terjadi, semuanya kuserahkan kepada Engkau, ya Allah,” papar UAS, dikutip dari siaran video TvOne, Kamis (11/4).

 

Pemfitnah yang Penakut

Bagaimana respons UAS setelah adanya sebaran fitnah via @saididu itu? Posting akun Instagram resminya, @ustadzabdulsomad, pada Ahad (14/4) lalu seakan-akan menjawab pertanyaan itu.

Tiga pesan penting UAS. Pertama, fitnah lahir dari kemarahan. Padahal, apalagi dalam konteks Indonesia kini, yang diperlukan adalah akal dan hati yang bersih. “(Pelaku fitnah –Red) menunjukkan akal tak lagi mengikat nafsu. Semoga kita tetap jaga NKRI dengan kelapangan hati.”

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 

"Apa yang terjadi pada saya, kuserahkan semua pada Engkau ya Allah, yang penting sudah ku sampaikan"

A post shared by Ustadz Abdul Somad (Official) (@ustadzabdulsomad) on

Kedua, makna pemilihan presiden (pilpres) kali ini bagi UAS sendiri. “Memperlihatkan mana teman sejati. Mana lawan berbaju kawan selama ini.”

Ketiga—yang bisa dianggap jawaban frontal kepada pemfitnahnya—menegaskan: “fitnah yang muncul pascapertemuan dengan Prabowo, sudah dipersiapkan dengan matang sebelumnya.” UAS juga mengibaratkan kekuatan politik umat Islam saat ini seperti “air (yang) selalu mengalir; dia tidak bisa ditahan. Ketika dia ditahan, maka dia akan menjadi sebuah perlawanan besar.”

Dalam akun Instagram yang sama, Senin (14/4), UAS menegaskan dirinya “menolak hadiah dari dulu.” Caranya bukan dengan deklarasi, melainkan adanya testimoni dari orang lain.

Pada 2018, misalnya, seseorang menawarinya Honda CRV, tetapi ditolaknya. “Silakan tanya Pak Irjen. Pol. Nandang (Mantan Kapolda Riau),” tulis UAS. Kemudian, pada 2019, dia juga menolak Toyota Fortuner. “Silakan tanya orang baik dan saleh, Pak Puspo Wardoyo, pemilik rumah makan Wong Solo.”

Dua posting tersebut menunjukkan UAS transparan dalam menjawab tudingan. Sikap ini sungguh berbeda daripada (tentu saja) para pemfitnah. Mereka mengambil alih @saididu lantas bersembunyi di balik akun orang lain.

Sekalipun Said Didu hingga tulisan ini dibuat belum melapor ke kepolisian, atau bahwa polisi belum bergerak langsung tanpa menunggu laporan, para pemfitnah itu sesungguhnya sudah kalah total dalam ketakutannya.

Sebab, tidak ada yang sudi mempercayai seorang pemfitnah, apalagi yang juga penakut. Viralnya tagar #UASdifitnahKejidanBrutal serta #saveUAS tak lama setelah @saididu diambil alih menunjukkan luasnya dukungan untuk Ustaz Abdul Somad.

Tagar itu tidak hanya diramaikan akun-akun “orang biasa”, tetapi juga para pengimpak (influencer) di Twitter, Instagram, Facebook, dan lain-lain. Mereka terus meredam virus fitnah yang dialamatkan kepada peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 itu.

 

Target di Era ‘Post-Truth

Memfitnah-orang sudah merupakan perkara besar. Apalagi, ketika sasaran fitnah merupakan seorang ulama. Ingatlah nasihat dari pakar hadis abad ke-12, Ibnu Asakir, “Saudaraku, ketahuilah bahwa daging para ulama itu beracun.”

Maknanya, pertama-tama lihatlah surah al-Hujurat ayat 12. Firman Allah SWT itu mengibaratkan perbuatan menggunjing bak “memakan daging saudara yang telah mati.”

Bila seseorang menyebarluaskan aib orang lain, itulah bergunjing. Jika seseorang merekayasa seolah-olah orang lain itu memiliki aib, itulah fitnah. Alquran juga telah memberikan tolok ukur.

Pelaku pergunjingan terhadap sesama Muslim diibaratkan sebagai pemakan daging bangkai saudara sendiri. Bila korbannya seorang ulama, maka pelaku pantas waspada. Sebab, perbuatannya amat jauh lebih berbahaya. Dia diibaratkan telah mengonsumsi “daging beracun.” Cepat atau lambat, pasti mematikan.

“Dan kita telah mengetahui sikap Allah terhadap orang-orang yang mencela para ulama. Maka, siapa saja yang menghina para ulama dengan lidahnya, Allah akan menimpakan kematian hati kepadanya selagi dia di dunia," jelas Ibnu Asakir, dikutip dari buku Tasawuf dan Ihsan.

Bagaimana fitnah pada era kini? Inilah era ketika informasi begitu membanjiri publik, terutama via media sosial. Inilah zamannya politik Post-Truth.

Lee McIntyre (2018:5) mengutip suatu definisi post-truth (harfiah: 'setelah kebenaran'). Istilah itu “menunjukkan keadaan ketika fakta objektif kurang begitu berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada emosi dan keyakinan pribadi.”

Dalam hal ini, bila seseorang sudah lama enggan menghormati ulama (termasuk UAS), maka mudah saja dia menelan fitnah yang disebarluaskan. Sebab, itulah yang ingin didekati para pemfitnah, yakni mereka yang pendek akal, lebih dikuasai “emosi dan keyakinan pribadi.”

Sebaliknya, bila seseorang terbiasa memandang ulama pada posisinya—sebagaimana tuntunan Ibnu Asakir di atas, misalnya—tentu saja akan menolak mempercayai fitnah. Dia enggan sebarisan dengan para penakut yang memanfaatkan mental post-truth dengan tujuan menggiring opini publik serta memancing emosi, alih-alih akal sehat.

 

Teringat Buya Hamka

Dalam sejarah umat di Tanah Air, UAS tentunya bukan ulama pertama yang jadi target fitnah. Buya Hamka merupakan seorang ulama besar yang pernah menjadi korban. Seperti diceritakan penyair Taufiq Ismail dalam bukunya, Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit (Jilid 3), saat itu periode 1963-1965. Salah satu koran yang pro-PKI ialah Bintang Timur. Rubrik “Lentera” muncul tiap Ahad di harian tersebut. Dijelaskannya, pemimpin “Lentera” saat itu adalah Pramoedya Ananta Toer.

Melalui “Lentera”, tutur Taufiq Ismail, banyak sastrawan yang antikomunis dijelek-jelekkan. Salah satunya, Buya Hamka yang menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Menurut penyair Angkatan 66 itu, dua tahun lamanya tokoh besar Masyumi dan Muhammadiyah itu difitnah dalam tulisan-tulisan di “Lentera.”

Sesudah itu, Buya Hamka ditangkap. Beliau dituduh terlibat makar yang merencanakan pembunuhan atas Presiden Sukarno dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Tuduhan yang jelas tidak masuk akal sehat dan toh tak pernah dibuktikan. 

Selama dua setengah tahun, Buya Hamka mendekam di penjara, tanpa pernah diadili. Justru, dalam keadaan demikian, Allah SWT memudahkan diri beliau untuk menyelesaikan kitab tafsir Alquran Al Azhar yang monumental itu.

Orde Lama tumbang. Fitnah yang digencarkan PKI pun luntur. Dengan naiknya Orde Baru, banyak tahanan politik yang bebas, termasuk Buya Hamka.

Waktu terus berjalan. Suatu kali, pada 1969, Buya Hamka diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk mengisi ceramah di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta. Taufiq Ismail mencatat dua pertanyaan yang diajukan kepada beliau oleh peserta diskusi.

Pertama, bagaimana pendapat Buya Hamka tentang pelarangan buku-buku karya Pramoedya. Sebagai informasi, pada permulaan Orde Baru tulisan-tulisan pengarang kelahiran Blora (Jawa Tengah) itu memang kerap tak boleh diedarkan.

Buya Hamka menjawab, dirinya tidak setuju dengan pelarangan buku-buku Pramoedya. Sebab, filsafah hidup beliau adalah cinta. “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula,” kata beliau.

Kedua, bagaimana sikapnya kini terhadap Pramoedya yang dahulu telah menghancurkan nama baiknya selama beberapa tahun melalui “Lentera.” Menjawab pertanyaan itu, Buya Hamka menyatakan, dirinya sudah memaafkan pula semua yang terlibat dalam hal ini.

Taufiq mengenang, hadirin di Teater Arena TIM pun terdiam hening. Mendengar keikhlasan yang memancar dari ucapan sastrawan dan ulama besar itu. Banyak yang menitikkan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement