Sabtu 13 Apr 2019 20:18 WIB

Debat Pilpres tanpa Perempuan

Selama pilpres, wacana pemberdayaan perempuan menghilang dari ruang publik.

Suasana debat kelima Pilpres 2019 yang diikuti pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Capres-Cawapres Nomor Urut 01 Joko Widodo-Ma

Konservatisme Pemikiran

KPU tampaknya tidak menimbang keberadaan perempuan dalam pilpres kali ini dengan jumlah pemilih terbesar lebih dari 96 juta dibandingkan dengan pemilih laki-laki dari total 192 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang telah disyahkan dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi DPTHP-2 pada Desember 2018.

Komisioner KPU memang didominasi laki-laki dan hanya satu perempuan dari 7 jumlah anggota. Walau mayoritas laki-laki mestinya memiliki pemikiran dan kebijakan sensitif gender khususnya pemihakan terhadap kaum perempuan dalam pemilihan tema kampanye dan debat capres cawapres.

Demikian pula, tak terdengar parpol dan capres/cawapres dalam pelbagai lawatan ke daerah-daerah dan dalam kampanyenya saya belum mendengar bagaimana konsep tentang pemberdayaan perempuan dan akan diterapkan nya nanti. Semua terjebak pada hal-hal yang realis-pragmatis, tapi mengabaikan hal paradigmatik, ideologis dan futuristik.

Saya memercayai bahwa perempuan adalah tiang negara, darinya lahir generasi muda penerus pemimpin masa depan Indonesia. Dalam soal ini saja, muncul isu reproduksi perempuan, kesehatan, sanitasi, gizi dan bahkan soal kekerasan dalam rumah tangga. Belum soal pendidikan, ekonomi keluarga dan ketahanan nasional yang semuanya berkorelasi kuat dengan eksistensi perempuan.

Konstruksi sosial yang terbangun saat ini merugikan perempuan yang bercorak budaya patriarki bersifat maskulinisme. Karena hasil relasi dan persepsi sosial sehingga perlu dilawan melalui dekonstruksi pemikiran progresif dari para aktivis perempuan itu sendiri atau pegiat kesetaraan.

Hal bersifat kodrati seperti melahirkan tak perlu dipersoalkan tetapi merawat anak dan membesarkannya dalam kehidupan yang cukup sesuatu yang profan dan dapat didiskusikan dalam pembagian tugas domestik antara suami dan istri. Terlebih dalam peran sosial-politik kemasyarakatan sangat jauh terbuka perempuan mengambil peran penting dan strategis termasuk menduduki jabatan kenegaraan.

Konstitusi negara menjamin hak yang sama laki-laki dan perempuan dalam partisipasi pemerintahan dan sosial lainnya. Diskriminasi berdasarkan gender sangat dilarang, UU No. 7 tahun 2017 tentang pemilu memberikan akses politik tanpa pembedaan jenis kelamin atau akibat relasi sosial dengan prinsip keadilan (gender equity).

Selain itu, hak-hak perempuan juga telah diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 2 tahun 2008 yang diubah menjadi UU No. 2 tahun 2011 tentang parpol memberikan hak afirmasi berupa kuota 30 persen dalam kedudukan politik baik di kepengurusan kelembagaan politik, pencalonan legislatif dan kesempatan yang sama dalam jabatan publik kenegaraan.

Belum lagi pengaturan dan perlindungan perempuan telah diatur secara internasional melalui PBB dengan ditetapkannya konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW) sejak tahun 1979 dan Indonesia sudah meratifikasinya menjadi UU No. 7 tahun 1983 sehingga segala pikiran konservatif dan tindakan diskriminatif terhadap perempuan harus dihentikan.

Memperjuangkan hak-hak perempuan tak harus menjadi anggota gerakan feminisme seperti banyak di gaungkan sekarang ini, tapi cukup dipahami mendalam bahwa laki-laki dan perempuan sama hak dan perannya dalam kehidupan sosial dan politik kenegaraan yang dijamin dan dilindungi konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan serta dalam ajaran agama-agama langit (Abrahimic Religions).

Pejabat negara dan KPU lah yang berkewajiban memberikan hak-hak perempuan dalam politik agar dapat dinikmati dan dijalankan tanpa gangguan dari manapun termasuk dari parpolnya sendiri. Parpol menginginkan perempuan memenuhi kuota 30 persen dalam pencalonan legislatif, namun enggan memberikan jabatan strategis dalam kedudukan partai atau mendorong pada jabatan publik.

Suatu sikap anomali dan konservatif yang masih menguasai petinggi elit parpol dan bahkan dalam rekrutmen komisioner KPU sebagai penyelenggara pemilu. Lalu bagimana mungkin soal penentuan tema debat saja, KPU memperlakukan perempuan sedemikian nihilnya? Wallahu A’lam bissawab.

TENTANG PENULIS

Syamsuddin Radjab, Direktur Eksekutif Jenggala Center dan Dosen HTN UIN Alauddin, Makassar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement