REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Pengamat sosial dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Syarifah Ema Rahmaniah mengatakan, anak-anak perlu mengenal pola persahabatan yang konstruktif serta diajak terlibat aksi sosial kemanusiaan agar tumbuh dan berkembang rasa empati serta cinta kasih. Dengan pola ini, diharapkan anak dapat sekaligus mengelola kemarahan dan kebencian.
"Kemarahan dan kebencian adalah sisi negatif yang dimiliki manusia yang sulit untuk dihilangkan, tapi bisa dikelola secara lebih terarah dan menjadi solusi, bukan menjadi bara api pertikaian dan kekerasan," katanya menanggapi maraknya kekerasan yang menyangkut anak-anak di Pontianak, Kamis (11/4).
Ia mencontohkan, misalnya dengan mengajak anak agar membenci perilaku korup, persekusi, kekerasan, diskriminasi, perundungan. "Bukan dengan menyasar kepada pelakunya, etnisnya, agamanya, usia dan gendernya," tambah dia.
Selain itu, lanjutnya tidak semua kekerasan harus dibalas dengan kekerasan pula. Anak-anak juga perlu dikenalkan sejak dini, lebih baik memberi daripada meminta, lebih banyak berkarya daripada menyalahkan, dan lebih banyak mencintai dan memaafkan dari pada membenci dan balas dendam. Hal tersebut harus disertai dengan praktik-praktik nyata yang tercermin dalam kehidupan di rumah dan luar rumah.
Ia juga mengingatkan orang tua agar memperkuat kontrol anak di sosial media yang dimiliki. Menurut dia, aspek pencegahan dini perlu diupayakan agar anak-anak muda tidak mudah terkontaminasi menjadi pelaku dan rentan menjadi korban perundungan.
"Mengenalkan kepada anak-anak untuk merawat nilai kemanusiaan dan empati adalah nilai murni yang perlu menjadi tuntunan dan tontonan bagi anak-anak," katanya.
Di sisi lain, tontonan yang mengabaikan nilai kemanusiaan kadang luput dari perhatian orang tua, keluarga dan sekolah. "Orang tua, guru dan masyarakat perlu memberikan teladan baik dalam merawat kemanusiaan sehingga menjadi tuntunan sepanjang masa dan di mana saja," tambah dia.
Ia berharap, dalam kasus penganiayaan anak di Pontianak yang tengah viral, netizen tidak perlu reaktif secara berlebihan dengan memviralkan foto pelaku dan korban. "Blurkan gambar atau jangan melakukan analisa sendiri yang sifatnya asumsi sepihak dan cenderung provokatif dengan narasi kalimat mendukung kekerasan. Opini liar jangan sampai viral," ujarnya.
Ia merasa kasihan karena hal itu akan menjadi rekam jejak bagi pelaku dan korban. "Kalaupun akan menempuh jalur hukum pastikan melibatkan komunikasi dengan para orang tua pelaku dan korban. Hukum itu harus adil dengan tetap mempertimbangkan UU Perlindungan dan Pengawasan anak bagi korban dan pelaku," terang dia.
Keduanya, baik korban dan pelaku, setelah kasus ini usai, harus tetap mendapatkan perlindungan dan pengawasan. "Tidak semua berita benar perlu disebarkan dengan frontal, perlu ada kode etik yang perlu dijaga," ujarnya.