Selasa 09 Apr 2019 18:03 WIB

Ujaran Kebencian dan Hoaks tak Hanya Terjadi di Indonesia

Ujaran kebencian dan hoaks sudah menjadi masalah global.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Seorang warga membubuhkan tanda tangan untuk mendukung Pemilu 2019 anti hoax saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta, Ahad (10/2/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Seorang warga membubuhkan tanda tangan untuk mendukung Pemilu 2019 anti hoax saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta, Ahad (10/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG - Praktisi Media, Savic Ali menyatakan, fenomena ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks tidak hanya menjadi masalah di Indonesia. Kasus-kasus ini sudah menjadi masalah global. Menurut Savic, post-truth menjadi salah satu penanda zaman media sosial (medsos) era kini. Fenomena ini mulai marak sekitar 2016 lalu.

"Banyak informasi internet yang kita enggak tahu mana yang benar atau salah. Kadang ada yang separuh benar atau full," kata Savic di Dialog Kebangsaan di Gedung Kuliah Bersama (GKB) IV, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa (9/4).

Melihat situasi ini, Savic pun teringat perkataan salah satu Sastrawan dari Meksiko. Sastrawan tersebut menyatakan, dia tahu akan satu cerita atau berita yang beredar. Hanya saja, dia tidak tahu apa yang diketahuinya ini benar atau tidak.

"Itu yang kita rasakan sekarang," tegasnya.

Sementara fenomena ujaran kebencian, Savic justru berpendapat, kasus ini sudah terlihat indikasinya pada 2013. Hal ini diperkuat dengan pandangan Sastrawan kontroversial, Salman Rushdie. Menurut Sastrawan Inggris ini, manusia sudah hidup di sebuah era yang saling serang.

"Kita lebih mudah tahu yang tidak disukai orang, apa dan siapa yang tidak disukai orang ketimbang hobinya apa. Tren ini sudah muncul, orang lebih melihat siapa yang kita benci. Ini menjadi cara hidup sekarang," tambah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement