Selasa 09 Apr 2019 06:54 WIB

Penjelasan BPN tentang Pernyataan “Ndasmu” dari Prabowo

Pernyataan ''Ndasmu' adalah kejengkelan atas narasi pertumbuhan ekonomi 5 persen.

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) menyapa pendukung-pendukungnya usai melakukan kampanye akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Ahad (7/4).
Foto: Antara/Aditya Pradana P
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) menyapa pendukung-pendukungnya usai melakukan kampanye akbar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Ahad (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan 'Pertumbuhan Ekonomi lima persen Ndasmu’ yang disampaikan  Calon Presiden No 2 Prabowo Subianto, disebut sebagai wujud kejengkelan Prabowo kepada narasi yang dipakai pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi (PE) 5 persen itu hebat.

"Mari lihat sejarah mulai Orde Baru. Pertanyaan saya, dengan pengecualian masa krisis ekonomi dan pemulihannya (1998-2004), kapan Indonesia puas dan bangga dengan 5 persen? Tidak pernah!” kata anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo -Sandi, Dradjad WIbowo, kepada republika.co.id, Selasa (9/4)

Selama tiga dekade lebih kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, kata Dradjad, hanya empat kali PE Indonesia berada di bawah 5%. Yaitu tahun 1975, 1983, 1985 dan 1987. "Itu pun, pada tahun 1975 dan 1987 angkanya 4,98% dan 4,93%,” papar ekonom INDEF tersebut.

Kecuali keempat tahun tersebut, lanjutnya, PE Indonesia selalu di antara 5-10%. Bahkan ketika apes mendekati 5% pun, angkanya masih di atas 5,5%. Frekwensi terbanyak PE berada pada 6%-9%.

Pada tahun 1968 PE Indonesia sempat dua-dijit, yaitu 10,92%. Setelah itu kita tidak pernah lagi dua-dijit, hanya pada tahun 1980 pernah 9,88%.

Selama masa krisis dan pemulihannya, kata Dradjad, angka 5% tergolong mewah. "Maklum kita harus pulih dari PE yang minus 13,13% pada tahun 1998. Itu sebabnya periode ini perlu dikecualikan,” papar politikus PAN ini.

Selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, sambung DRadjad, Indonesia pun selalu berusaha mencapai PE yang tinggi. "Tidak pernah angka 5% dianggap hebat,” ungkapnya.

Hal yang membuat perlunya PE cukup tinggi, menurut Dradjad, salah satu alasannya adalah untuk menampung pertambahan pencari kerja baru. Rasio penciptaan kerja yang wajar adalah sekitar 300-400 ribu tambahan orang bekerja per 1% PE.

"Itu berdasarkan pengalaman historis sejak masa pak Harto. Jika rasionya naik ke 500 ribu, sebenarnya sudah aneh. Tapi masih sedikit bisa ditolerir mengingat besarnya peranan sektor informal,” ungkapnya.

Pertumbuhan yang terlalu tinggi ada ekses negatifnya. Ekonomi Indonesia dikenal cepat panas. Pertumbuhan yang tinggi sering diikuti inflasi yang tinggi pula, sehingga menggangu stabilitas makro.

Itu sebabnya, kata Dradjad, konsensus tidak tertulisnya adalah harus mengejar PE sekitar 6-7%. Itu angka yang cukup untuk menyediakan lapangan kerja, pendapatan per kapita rakyat meningkat cukup memadai, sementara inflasi terkendali, demikian juga dengan nilai tukar Rupiah dan suku bunga.

Dengan kata lain, lanjutnya, terjadi keseimbangan antara Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. "Dugaan saya, ketika pak Jokowi menjanjikan PE 7%, tidak lepas dari pertimbangan di atas,” kata Dradjad.

Sekarang tiba-tiba PE 5% ini dinarasikan sebagai sudah hebat. "Masyarakat diminta puas dengan 5%. Jangan karena gagal 7% lalu masyarakat dicekoki dengan narasi ini,” ungkapnya. Seharusnya yang dilakukan, lanjutnya, adalah, mencari cara bersama-sama mencapai PE 6-7% tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement