Sabtu 06 Apr 2019 17:30 WIB

Kisah Korban Gempa, Bersyukur tak Lagi Hidup di Bawah Tenda

Jumadi bersyukur bisa kembali lagi ke rumah setelah berbulan-bulan hidup di tenda.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Gita Amanda
Kondisi rumah tahan gempa yang sudah jadi dan sedang dalam pembangunan di Desa Teratak, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Sabtu (6/4).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Kondisi rumah tahan gempa yang sudah jadi dan sedang dalam pembangunan di Desa Teratak, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, Sabtu (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK TENGAH -- Jumadi bersyukur bisa kembali lagi ke rumah setelah berbulan-bulan hidup bersama keluarga di bawah tenda. Rumah Jumadi rata dengan tanah akibat gempa yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada tahun lalu.

"Rumah saya rusak berat, dulu mengungsi di tenda, dan baru Maret kemarin rumah jadi," ujar Jumadi yang merupakan warga Dusun Montong Dao, Desa Teratak, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu (6/4).

Baca Juga

Kata Jumadi, Dusun Montong Dao merupakan wilayah dengan dampak terparah di Desa Teratak. Jumadi menyebut, rumah 650 kepala keluarga (KK) yang mendiami Dusun Montong Dao, mengalami kerusakan, dengan dominasi rusak berat sebanyak 458 rumah, sedangkan sisanya rusak sedang dan rusak ringan.

Jumadi yang merupakan seorang penghulu mengatakan, dari 458 rumah rusak berat, tinggal 30 rumah yang belum kembali dibangun, sisanya termasuk rumah miliknya sudah bisa ditempati kembali atau sedang dalam proses pembangunan dengan desain Rumah Tahan Gempa (RTG).

"Delapan pulu persen warga di sini memilih rumah jenis Riko, yang memilih Risha paling 20 persen. Menurut warga Riko lebih kuat dan material lebih mudah didapat daripada Risha," lanjut Jumadi.

Riko merupakan rumah instan konvensional, sementara Risha akronim dari rumah instan sederhana sehat. Riko dan Risha merupakan salah dua dari ragam jenis model rumah tahan gempa yang ditawarkan pemerintah.

Jumadi menyampaikan, pembangunan rumah mendapat arahan dan pendampingan secara intensif dari fasilitator. Hal ini dimaksudkan agar rumah yang dibangun benar-benar memenuhi kaidah tahan gempa.

"Alhamdulillah pas kemarin gempa lagi (Ahad 17/3), rumah yang baru kami tempati tidak ada yang rusak," kata Jumadi.

Jumadi menilai proses pembangunan rumah tahan gempa sejatinya tidak memerlukan waktu lama. Dia menghitung pembangunan rumahnya tidak sampai sebulan. Biasanya, kata Jumadi, kendala datang pada proses pencairan, di mana mengharuskan seluruh anggota kelompok masyarakat (pokmas) melengkapi persyaratan yang diminta, mulai dari KTP, kartu keluarga, hingga jenis rumah tahan gempa yang akan dibangun.

"Kalau lancar bahannya dan pencairannya, pembangunan paling satu bulan saja selesai. Masalah kemarin karena ada anggota yang sudah siap, ada yang belum, sedangkan persyaratannya seluruh anggota pokmas harus siap baru bisa dibangun," ucap Jumadi.

Jumadi mengaku tahu persis proses pembangunan rumah lantaran dia ditunjuk sebagai ketua pokmas yang beranggotakan tujuh kepala keluarga.

Saat ini, Jumadi bersama istri dan tiga anaknya telah kembali ke rumah berukuran 6x6 meter dengan dua kamar tidur. Menurut Jumadi, luas rumah dan jumlah kamar belum sepenuhnya cukup lantaran hanya ada dua kamar. Dia berharap ada tambahan bantuan dari pemerintah terkait hal tersebut.

"Ya memang belum cukup sih karena cuma dua kamar tidur, tapi ya kita syukuri saja anak-anak sudah tidak tinggal di tenda," kata Jumadi.

Jumadi sendiri mendapat bantuan senilai Rp 50 juta dari pemerintah untuk rumah rusak berat. Selain dana bantuan, Jumadi juga mengeluarkan dana pribadi dari tabungan dan pinjaman dengan total Rp 8 juta untuk membangun teras rumah sebagai antisipasi terjadinya banjir saat musim hujan tiba.

"Ongkos tukang yang RAB (Rencana Anggaran Biaya) Rp 10 juta tidak cukup, karena menjadi Rp 12,5 juta. Saya nambah Rp 8 juta dari tabungan dan pinjaman untuk buat teras agar kalau hujan tidak banjir," ungkap Jumadi.

Selain bersyukur atas bantuan yang sudah didapat, Jumadi mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, mulai dari pemerintah, fasilitator, TNI, hingga polri.

"Sampaikan juga salam untuk para relawan yang saat gempa terjadi mereka datang dari mana-mana ke sini, mereka dampingi kami saat itu, kami ingat betul jasa mereka, terima kasih," lanjut Jumadi.

Data Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak) Kementerian PUPR menyebut 1.379 kepala keluarga (KK) terdampak gempa di delapan desa di Kecamatan Batukliang Utara.

Desa Teratak merupakan wilayah dengan jumlah warga terdampak terparah dengan jumlah 801 KK. Per Sabtu (6/4), jumlah rumah yang sudah terbangun di Desa Teratak sebanyak 105 rumah yang terdiri atas 45 Risha dan 60 Riko. Sementara rumah yang sedang dalam proses pembangunan ialah 20 Risha, 259 Riko, dan 16 Risba.

Sebagai gambaran, dampak gempa yang melanda NTB pada akhir Juli hingga Agustus 2018 mengakibatkan 216 ribu rumah penduduk rusak, dengan rincian 75 ribu rumah rusak berat, 33 ribu rumah rusak sedang, dan 108.306 rumah rusak ringan.

Tujuh dari sepuluh kabupaten di NTB terdampak gempa, meliputi Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat di Pulau Lombok; serta Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa di Pulau Sumbawa.

Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah memberikan bantuan stimulan untuk warga terdampak gempa dengan nominal Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp 10 juta untuk rumah rusak ringan.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB per Jumat (5/4) menyebutkan jumlah rumah yang sudah selesai dibangun mencapai 15.241 rumah dengan rincian 3.831 rumah rusak berat,  2.417 rumah rusak sedang, dan 8.993 rumah rusak ringan.

Sementara rumah yang sedang dalam proses pembangunan mencapai 50.632 rumah meliputi 15.678 rumah rusak berat, 9.613 rumah rusak sedang, dan 25.332 rumah rusak ringan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement