Kamis 04 Apr 2019 23:00 WIB

RSJ Lampung Siapkan 115 Ranjang Caleg Depresi

Caleg yang depresi akibat kalah di pemilu cenderung tak langsung ke RSJ karena malu.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Teguh Firmansyah
depresi. Ilustrasi
Foto: Fakeelvis @Flickr
depresi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Tak semua calon anggota legislatif (caleg) lolos pada Pemilu 2019.  Padahal, uang, harta, jiwa, dan raga dikerahkan untuk mencapai sebuah obsesi lima tahunan duduk di Gedung Wakil Rakyat.

Untuk modal kampanye tak sedikit caleg yang mau tidak mau menggadaikan atau menjual harta benda kesayangannya, agar terpilih dan tercatat sebagai anggota dewan yang terhormat.

Baca Juga

Tapi, apa dinyana? Ada yang menang sudah pasti ada yang kalah dalam pertarungan pesta demokrasi lima tahun sekali. Yang lolos pemilu, tentu berbahagia dengan usaha dan kerja kerasnya selama ini.

Sedangkan caleg yang tidak lolos, uang habis harta melayang. Tak ada kata ikhlas dalam pertempuran menuju kursi DPD, DPR, dan DPRD. Banyak caleg yang stres atau depresi melihat kenyataan itu.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi sandaran bagi caleg yang bermasalah dengan kejiwaannya pascapemilu mendatang. Seperti RSJ Lampung yang berada di Kelurahan Kurungan Nyawa, Negeri Sakti, Pesawaran sudah siap melayani para caleg-caleg yang kalah atau tidak lolos pada pemilu namun bermasalah dalam kejiwaannya.

“Sudah kami siapkan. Ada ruangan yang kami persiapkan untuk mengantisipasi apabila ada kejadian seperti itu (caleg bermasalah kejiwaan pascapemilu),” kata Kepala Humas RSJ Kurungan Nyawa Lampung David kepada Republika.co.id, di kantornya, Kamis (4/4).

Tak tanggung-tanggung, RSJ tersebut menyiapkan ratusan tempat tidur atau ranjang di sejumlah ruangan. Ranjang-ranjang itu diperuntukkan untuk rawat inap bagi  sejumlah caleg yang mengalami masalah kejiwaan baik stres atau depresi karena kalah dalam pertarungan pemilu mendatang. “Saat ini sudah ada kami siapkan 115 tempat tidur,” ujarnya.

Bukan hanya tempat tidur dan ruangan, RSJ juga mempersiapkan dokter dan paramedis bila kedatangan pasien pascapemilu usai. Paramedis tersebut, memang bersiaga setiap hari, layaknya di rumah sakit umum. RSJ tersebut menyediakan Unit Gawat Darurat dan tempat poliklinik untuk penyakit-penyakit tertentu.

Menurut David, kencederungan para caleg atau keluarganya bila menghadapi masalah setelah gagal lolos ke kursi legislatif, mereka tidak langsung menuju RSJ atau dokter di yang berada di daerahnya atau provinsinya. Mereka lebih memilih berobat ke luar kabupaten atau provinsi. “Karena bisa jadi, mereka atau keluarganya malu apabila berobat ke RSJ Lampung,” tuturnya.

Padahal, ungkap David, hal tersebut bukan solusi yang tepat dengan cara mencari rumah sakit yang jauh dari rumah tinggal atau tempat bermukim. Rasa malu itu menjadi stigma buruk bagi seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan, sehingga harus mengasingkan diri ke tempat yang aman dari tempat tinggalnya. “Masih ada stigma di masyarakat bahwa gangguan jiwa itu sebuah aib,” ujarnya.

Mengenai kondisi RSJ saat pesta demokrasi lima tahun lalu. Menurut dia, belum ada yang secara langsung datang berobat ke RSJ Lampung. Para caleg atau keluarganya lebih memilih berobat ke luar Lampung, karena mungkin malu dengan kondisi kekalahan sehigga harus berobat ke RSJ di Lampung.

Menurut dia, berobat ke rumah sakit atau ke puskesmas, klinik, atau ke dokter sama saja tidak ada perbedaan apapun. Tujuannya untuk sehat dan kembali normal bisa beraktivitas. Rumah sakit umum melayani pasien yang mengalami penyakit raga, sedangkan RSJ mengobati pasien dengan penyakit jiwa.

Wanda (55 tahun), warga Bandar Lampung yang pernah mencaleg pada pemilu 2014 lalu mengataan kebutuhan untuk mencaleg lebih besar dari membuka usaha. Menurut dia, mulai dari mengurusi administrasi untuk persyaratan pencalegan seperti kesehatan, sudah keluar uang banyak, Belum lagi untuk partai yang akan mengusung, dan termasuk penentuan nomor urut.

Tak hanya itu, setelah lolos menjadi daftar caleg, ia menuturkan masih harus keluar uang lagi untuk modal sosialisasi dan kampanye. Kalau caleg untuk DPRD kabupaten/kota lebih sedikit dibandingkan dengan caleg untuk DPRD Provinsi, apalagi DPR-RI. “Intinya, kalau sudah mencaleg, harus siapkan uang banyak sudah pasti keluar dan habis,” ujar seorang pengacara di Bandar Lampung ini.

Karni (54 tahun), caleg yang tidak lolos pada pileg 2014 untu DRPD Lampung mengaku tidak berniat lagi untuk bertarung pada pemiliu 2019. Saat mencaleg lima tahun lalu, ia merasakan banyak kecurangan yang terjadi dalam penghitungan dan pengumpulan suara untuk dirinya. Padahal, ia telah melaporkan ke Bawaslu dan lainnya, namun tidak ada hasilnya.

“Saya banyak dicurangi, tapi tidak ada hasilnya juga sudah melapor kesana kemari, tapi tetap saja yang dicurangi kalah,” tutur wiraswastawan di Bandar Lampung ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement