Selasa 02 Apr 2019 02:10 WIB

Ketika Dua Capres Mengaku Difitnah Pendukung Lawan

Polarisasi muncul dari narasi para elite politik selama 4,5 tahun terakhir.

Ratna Puspita
Foto: dok. Republika
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*

Debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah usai dilakukan pada Sabtu (30/3) pekan lalu. Debat politik yang harus berebut perhatian dengan aktivitas masyarakat menghabiskan akhir pekan ini menyuguhkan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.

Ideologi menjadi tema yang menarik ketika kedua calon presiden, yakni Joko Widodo selaku calon pejawat dan Prabowo Subianto yang maju untuk kedua kalinya, kerap diserang karena masalah nilai-nilai dan prinsip. Tidak perlu dimungkiri bahwa kedua capres selama ini kerap mendapat serangan seolah keduanya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Saya mencatat selama satu tahun terakhir, Jokowi intens mengungkapkan serangan terhadap dirinya terkait isi PKI. Hampir pada setiap kesempatan, capres nomor urut 01 tersebut berusaha mengklarifikasi bahwa dirinya tidak terkait dengan komunisme atau PKI.

Jokowi kerap mengungkapkan serangan yang mengaitkan dirinya dan PKI sudah berlangsung sejak Pilpres 2014. Kala itu, Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla melawan Prabowo yang berduet dengan Hatta Rajasa.

Dulu, Jokowi kerap mengutarakan tidak melawan serangan tersebut. Namun, hasil survei menunjukkan ada delapan hingga sembilan persen warga yang percaya bahwa dia terkait dengan PKI dan komunisme.

Adanya pihak yang percaya ini bagaikana bola salju yang punya potensi membesar. Karena itu, pada setiap kesempatan, Jokowi berusaha melakukan klarifikasi.

Apalagi, serangan PKI dan komunisme ini membesar menjadi Jokowi anti-Islam dan antiulama. Jokowi yang memilih ulama sebagai cawapresnya berusaha menepis serangan-serangan tersebut.

Bukan hanya Jokowi yang mendapatkan serangan soal ideologi. Prabowo juga mengalami hal serupa. Ia kerap dikaitkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan pemerintah.

Prabowo juga kerap diidentifikasi sebagai calon presiden dari kelompok-kelompok yang tidak toleran terhadap minoritas. Serangan terhadap Prabowo, tidak perlu dimungkiri juga, datang. bertubi-tubi di media sosial.

Karena itu, tidak mengherankan kedua capres menggunakan kesempatan debat untuk mengklarifikasi isu ini. Prabowo menjadi yang pertama membuka klarififikasi soal ideologi.

Prabowo menyampaikan mengenai pendukung 01 yang menuduh dirinya akan menghapuskan budaya tahlil jika terpilih menjadi RI-1. Selain itu, Prabowo diserang dengan isu pro-radikalisme dan berkeinginan mendirikan negara Khilafah.

Prabowo pun menceritakan dirinya tumbuh di keluarga yang penuh toleransi. Ibu yang Kristiani tidak menghalanginya tumbuh di lingkungan Islami.

Prabowo juga menegaskan kecintaannya pada Pancasila dan NKRI dengan berkarier di dunia militer. Ia sudah mempertaruhkan nyawa sejak masih belia demi negeri ini sehingga tidak mungkin punya keinginan mengubah Pancasila.

Jokowi membalas Prabowo dengan menyatakan pengakuannya bahwa capres nomor urut 02 tersebut memiliki pemahaman nasionalisme yang matang. Di sisi lain, Jokowi mengingatkan Prabowo bahwa pendukungnya  juga melakukan serangan fitnah.

“Empat setengah tahun saya ini dituduh PKI. Ada yang menuduh saya seperti itu. Saya biasa saja, nggak pernah saya jawab,” kata Jokowi kepada Prabowo.

Pernyataan kedua capres menunjukkan bagaimana fitnah dan kabar-kabar tidak terverifikasi sudah mewarnai perdebatan politik di tanah air selama hampir lima tahun terakhir. Masyarakat terpecah menjadi toleran dan tidak toleran, Pancasila dan anti-Pancasila, dan cebong dan kampret.

Akan tetapi, saya juga ingin mengingatkan bahwa polarisasi di tengah masyarakat tidak muncul dengan sendiri. Polarisasi tersebut muncul dari narasi-narasi yang dikeluarkan oleh elite-elite politik selama 4,5 tahun terakhir.

Jika kedua capres merasa dirugikan dengan serangan-serangan fitnah tersebut maka keduanya seharusnya mulai melakukan cara untuk menghentikannya. Seperti yang diungkapkan oleh kedua capres, serangan tersebut datang dari para pendukung.

Para pendukung tersebut punya pemimpin yang seharusnya bisa membantu meluruskan serangan fitnah kepada kubu lawan. Mungkin yang perlu dilakukan sekarang bukan hanya klarifikasi fitnah terhadap kubu sendiri, melainkan juga kubu lawan.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement