Jumat 29 Mar 2019 02:49 WIB

Menanti Kebangkitan Timnas U-23 di SEA Games 2019

Tak perlu memaksakan starter pemain Timnas U-2 yang telat bergabung.

Israr Itah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Akhir Februari lalu, pecinta sepak bola Tanah Air bersuka cita. Timnas Indonesia U-22 berjaya di pentas Piala AFF U-22. Tim asuhan Indra Sjafri menjadi juara dengan mengalahkan Thailand 2-1 di final.

Witan Sulaeman dkk mendapat sambutan meriah. Ada bonus dari Kemenpora. Seluruh tim diarak dengan bus terbuka hingga ke Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo. Di sana, bonus tambahan didapat dari orang nomor satu di negeri ini untuk seluruh pemain dan ofisial. Semua senang. Presiden berharap, ini jadi awal prestasi sepak bola Indonesia yang lebih besar.

Namun dalam hitungan sebulan, pelangi yang hadir berubah mendung. Anggota tim yang berjaya di Piala AFF U-22 kandas dalam kualifikasi Piala AFC U-23 2020. Asa berpartisipasi pada kejuaraan level Asia tahun depan di Thailand pupus. Indonesia dipermak Thailand 0-4 pada laga pembuka, kalah tipis dari Vietnam 0-1, dan hanya menang beruntung 2-1 lawan Brunei Darussalam. Timnas U-23 dengan materi yang tak banyak berubah saat berjaya sebulan sebelumnya hanya menempati posisi ketiga Grup K Kualifikasi Piala AFC U-23.

Pujian berubah jadi hujatan. Tim yang sebulan lalu disanjung kini dihujani kritikan. Seperti biasa, orang Indonesia yang semua merasa paham sepak bola, masing-masing mengeluarkan argumen sesuai pandangannya. Ada yang berpendapat keberhasilan di Piala AFF U-22 terlalu diapresiasi berlebihan sehingga membuat para pemain terlena. Ada yang menyalahkan persiapan timnas yang tak maksimal. Ada pula yang mengkritik strategi Indra Sjafri. Hingga yang paling pedas menyalahkan pemain, terutama Egy Maulana Vikri.

Mengamati seluruh argumen yang muncul itu, saya merasakan ada kebenaran di tiap-tiapnya, kecuali bagian menyalahkan Egy. Namun porsi terbesar menurut saya adalah pendekatan yang tak pas oleh Indra Sjafri menuju kualifikasi ini setelah juara Piala AFF U-22.

Saya jadi teringat tulisan saya setahun lalu tentang Egy yang memperkuat timnas U-19 di bawah asuhan Indra. Kala itu, saya meminta coach Indra mempertimbangkan masak-masak untuk memasang Egy sebagai starter pada laga semifinal Piala AFF U-19 melawan Malaysia. Sebab, Egy baru saja bergabung di tengah turnamen setelah menempuh perjalanan jauh dari Polandia. Tanpa Egy, timnas U-19 sudah menampilkan daya ledak dahsyat. Benar, Egy punya skill mumpuni. Tapi dengan pertimbangan kekompakan yang sudah terjaga, adaptasi, dan kondisi fisik Egy, saya menilai sebaiknya pemain asal Medan itu tak usah turun sebagai starter.

Kekhawatiran saya terbukti, Egy dipasang sebagai starter. Permainan timnas jadi berbeda dibandingkan sebelumnya. Di tengah pertandingan Egy cedera. Ototnya tertarik namun memaksa bermain. Ia akhirnya menyerah dan keluar lapangan. Timnas pun harus tersisih karena ditaklukkan Malaysia.

Kondisi setahun lalu menurut saya hampir mirip seperti kegagalan di kualifikasi Piala AFC U-23 meskipun tak sama persis. Skuat tim yang Piala AFF U-22 bagi saya sudah cukup mumpuni dengan berbagai kelemahannya di sana-sini. Yang perlu dilakukan adalah meminimalisasi kesalahan-kesalahan yang timbul dari penampilan pada ajang sebelumnya.

Andai ingin menambah kekuatan, semestinya tak di tengah jalan. Namun Indra memanggil Saddil Ramdani, Egy, dan Ezra Walian yang baru bisa bergabung belakangan. Saddil datang sedikit lebih cepat. Egy bergabung sekitar 10 hari jelang laga pertama kontra Thailand. Ezra datang lebih belakangan--yang akhirnya tak bisa merumput karena kendala administrasi naturalisasi.

Okelah, Egy dan Saddil sudah paham betul dengan taktik Indra. Tapi, mereka harus membangun chemistry lagi dengan Marinus Wanewar, Osvaldo Haay, dan sejumlah pemain lain di lini serang timnas U-23. Dengan waktu latihan relatif singkat dan uji coba yang tak maksimal, peningkatan level serangan timnas U-23 dengan kehadiran keduanya tak bisa diukur optimal.

Kekalahan 0-4 dari Thailand pada laga pertama begitu terasa. Karena hendak mengakomodasi Saddil dan Egy, timnas U-23 bermain dengan skema ofensif yang tak seimbang dengan hanya satu gelandang bertahan pada diri M Luthi Kamal. Alhasil, timnas U-23 harus menelan pil pahit. Saat serangan gagal, timnas U-23 tampak rentan dijebol balik karena kurangnya benteng penahan sebelum lawan langsung berhadapan dengan barisan bek. Belum lagi pilihan duet bek tengah yang ternyata tak pas. Indonesia menyerah 0-4.

Indra membuat penyesuaian pada pertandingan kedua melawan Vietnam. Ia menurunkan Sani Rizki, gelandang serang yang punya naluri bertahan cukup kuat. Saddil dikorbankan. Permainan lebih kompak. Tapi sayang, timnas U-23 kalah menyakitkan lewat gol pada injury time laga. Menyesakkan bagi semuanya.

Tapi, saya melihat ada harapan besar dari tim ini dari bahasa tubuh mereka saat melawan Brunei Darussalam pada laga terakhir yang tidak menentukan. Ada keceriaan yang muncul walaupun permainan yang ditunjukkan tidak maksimal. Mereka seolah sudah melupakan kegagalan dengan cepat. Buat saya, itu modal yang cukup, seperti kata-kata bijak dari luar sana, "Jangan pernah biarkan kemenangan ada di kepalamu atau kekalahan di dalam hatimu". Semua tentang apa yang akan dilakukan ke depan. Mengingat kemenangan dan menyimpan kekesalan dari kekalahan merupakan langkah awal menuju kegagalan.

Saya percaya para pemain timnas U-23 punya mental baja. Kegagalan di kualifikasi Piala AFC U-23 ini bakal menjadi cambuk bagi mereka untuk berbenah dan meledak di SEA Games XXX Manila pada November mendatang.

Catatan penting tentu saja harus ditujukan kepada Indra dan para asistennya. Indra ditargetkan PSSI meraih emas sepak bola SEA Games 2019. Bukan perkara mudah karena terakhir kali Indonesia mendapatkannya pada 1991. Tapi juga bukan mustahil selama tak mengulangi kekeliruan sebelumnya.

Pekerjaan Indra kali ini bakal lebih sulit. Sebab, para pemain timnas U-23 asuhannya saat ini belum tentu mendapatkan menit bermain cukup di klub masing-masing saat Liga 1 bergulir nanti. Alhasil, pemusatan latihan mesti terjadwal matang dan laga uji coba yang tepat bakal sangat menentukan.

Indra juga harus mendapatkan kepastian sejak awal tentang kehadiran para pemain yang merumput di luar negeri seperti Egy dan Saddil misalnya. Jika mereka baru bisa bergabung saat mendekati turnamen, mungkin lebih baik tak menggantungkan harapan besar ke mereka. Indra harus membuat set up tim berdasarkan pemain yang tersedia sejak awal. Egy dan Saddil misalnya, bisa menjadi senjata rahasia yang siap meledak saat dibutuhkan dari bangku cadangan.

Saya berharap PSSI dan klub-klub mendukung target yang dibebankan kepada Indra akhir tahun ini. Salah satu caranya bisa menetapkan regulasi wajib memainkan pemain U-23 dalam jumlah dan menit bermain tertentu pada pertandingan Liga 1. Regulasi ini ernah diterapkan sebelumnya pada 2017 sebelum akhirnya dicabut.

Sebab, dengan cara itulah Indra bisa dapat memantau para pemainnya dan mengikuti perkembangan mereka. Indra juga bisa saja mendapatkan nama baru yang mungkin muncul dari kompetisi sepak bola tertinggi di Tanah Air. Andai PSSI dan klub-klub tak bisa membantu dengan cara ini, jangan salahkan kalau timnas nanti gagal meraih target yang dibebankan di Manila.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement