Kamis 28 Mar 2019 07:02 WIB

Soal Demokrasi dan Nasihat Islami untuk (Calon) Pemimpin

Demokrasi asli Indonesia sudah lama tumbuh di desa-desa, jauh sebelum Belanda datang.

Hasanul Rizqa
Foto: dok. Republika
Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa*

Dalam beberapa pekan lagi, seluruh warga Indonesia akan menghadapi pemilihan umum (pemilu) serentak. Adanya pemilu menandakan negara ini menjalankan demokrasi. Meski begitu, demokrasi seperti apa yang ideal bagi Indonesia masih menjadi diskusi yang menarik sampai hari ini.

Bung Hatta dalam pamflet “Demokrasi Kita” (1959) menguraikan pemikiran tentang demokrasi. Sebelum merdeka, segenap bangsa Indonesia merasakan pengalaman pahit di bawah “negara polisi” Hindia Belanda. Mereka selalu diawasi aparat rust en orde, ‘ketentraman dan ketertiban.’ Tentram bagi penjajah, tetapi tertib yang penuh ketakutan bagi mayoritas rakyat.

Pengalaman itulah yang menghidupkan cita-cita negara hukum yang demokratis di dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia. Namun, Hatta menegaskan, demokrasi Barat apriori ditolak. Sebab, sistem yang lahir sejak Revolusi Prancis (1789) itu mengakui prinsip kesamaan, tetapi hanya di bidang politik: setiap orang berhak memilih dan dipilih menjadi anggota parlemen. Prinsip kesamaan itu tidak tampak di bidang ekonomi. Alih-alih persaudaraan, yang kian kentara justru golongan penindas dan tertindas.

Hatta menekankan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. [...] Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia.”

Karena bertumpu pada realitas sosial, konteks Indonesia perlu diperhatikan. Menurut Hatta, demokrasi asli Indonesia sudah lama tumbuh di perdesaan, jauh sebelum Belanda datang. Meski saat itu banyak kerajaan feodal, demokrasi asli itu terus tumbuh sebagai adat istiadat di desa-desa.

Realitas itu tercermin dalam ungkapan “desa mawa tata, negara mawa cara.” Untuk menjelaskannya, dapatlah dikutip pidato kebudayaan WS Rendra di UGM pada 2007 silam. Disebutkannya tentang raja Jawa dari abad ke-11, Airlangga. Raja yang naik takhta saat berusia 17 tahun itu mewarisi banyak problem sosial dan politik dari pendahulunya, Raja Dharmawangsa.

Airlangga lantas merangkul segenap desa di pesisir dan dataran. Raja tersebut meminta mereka untuk menyepakati hukum adat supaya lebih adil dan membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Hukum yang telah dihimpun itu lalu dikawal Dewan Penjaga Adat, yang terdiri atas 40 cendekiawan. Setelah itu, Airlangga memaklumkan hukum kerajaan supaya ditegakkan dengan selalu mengindahkan “konstitusi” hukum adat demi harmoni—bukan penyeragaman—di tengah rakyat.

Contoh lain yang sering disebut Rendra ialah masyarakat Bugis. Tokohnya bernama Kajaolalido (atau Kajao La Liddong), seorang cendekiawan Bugis abad ke-16 sekaligus penasihat raja Bone. Di antara gagasannya berintikan, “Kedaulatan tertinggi adalah hukum adat, bukan sosok individu atau lembaga.” Karena itu, seorang raja mesti memelihara dan mengayomi rakyat. Tidak boleh raja menjadikan rakyat dan harta benda mereka bak kepemilikan pribadi.

Bagi Rendra, inisiatif dari raja-raja di Nusantara menunjukkan bahwa bangsa ini telah berpikiran maju. Di Eropa sendiri, Kode Napoleon yang menjadi dasar hukum tertulis baru muncul pada abad ke-19. Hanya saja, kolonialisme Barat telah merusak banyak kearifan lokal.

Kembali ke uraian Hatta. Menurut dia, demokrasi asli Indonesia terdiri atas unsur-unsur: rapat, mufakat, gotong royong, hak protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja. Bagaimanapun, konsep tersebut adalah basis, tidak kemudian diterapkan  seutuhnya pada era modern. “Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi, sebagai dasar ia dipandang terpakai,” tulis Hatta.

Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Bagi Hatta, sila pertama merupakan fondasi moral, sedangkan sila-sila berikutnya fondasi politik. Maka dari itu, dia menyimpulkan, “Demokrasi kita harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan (pada) kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan dan perikemanusiaan.

Syarat utama untuk melaksanakan ini—yang juga berlaku bagi segala demokrasi—ialah adanya keinsafan tentang tanggung jawab dan toleransi dan persediaan hati melaksanakan prinsip the right man in the right place, orang yang tepat pada tempat yang tepat.”

Pandangan itu sedikit-banyak terinspirasi dari ajaran agama yang dianut Hatta, Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika suatu urusan diberikan kepada selain ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya.” Islam pada hakikatnya menekankan watak bertanggung jawab dalam diri seorang pemimpin—siapapun orangnya. Nabi SAW berpesan sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, “Kamu semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa-apa yang dipimpinnya.”

Sementara itu, Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya, Al-Kabaair, menempatkan ihwal “pemimpin yang menipu dan menzalimi rakyat” ke dalam dosa besar yang ke-16. Dia mengutip Rasulullah SAW, “Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya kelak di neraka.” Termasuk di dalamnya perbuatan curang. “Barang siapa yang berbuat curang kepada kami (umat Islam), maka dia bukan dari golongan kami,” demikian tegas Nabi Muhammad SAW.

Hadis lain dari beliau berisi gambaran tentang siksa dari-Nya, “Tiada seorang pemimpin (meskipun atas) 10 orang melainkan kelak pada Hari Kiamat didatangkan dalam keadaan tangannya terbelenggu di belakang lehernya. Dia akan dibebaskan oleh keadilannya atau akan dibinasakan oleh kezalimannya.

Demikianlah. Begitu banyak nasihat dari baginda shalallahu ‘alaihi wasallam. Itu patut direnungi oleh mereka yang menghendaki kepemimpinan atau yang kini menjadi seorang pemimpin. Adz-Dzahabi mengutip kembali hadis Nabi SAW, “Sungguh, kalian akan berambisi terhadap kekuasaan dan akan menjadi penyesalan pada Hari Kiamat. […] Sungguh, demi Allah, kami tidak akan menyerahkan urusan ini (kepemimpinan) kepada orang yang memintanya atau kepada orang yang berambisi mendapatkannya.”

Karena itu, berhati-hatilah dalam memilih dan dipilih dalam demokrasi (baca: pemilu).

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement