Ahad 31 Mar 2019 09:23 WIB

Dosen UMM Tegaskan Islam adalah Jalan Keselamatan

Islam mengajarkan ketenangan, perdamaian, toleransi, dan nilai-nilai universal

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Haley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Mark Baker
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Haley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nafik Muthohirin, menegaskan, Islam pada dasarnya sebuah jalan keselamatan. Hal ini diungkapkan dalam menanggapi aksi teror yang terjadi beberapa waktu lalu di Christchuch, Selandia Baru.

Menurut Nafik, aksi tersebut jelas menganggu harmonisasi keberagaman umat beragama di berbagai belahan dunia. Padahal berdasarkan survei yang dilakukan Global Peace Index 2017, New Zealand disebut sebagai negara paling aman kedua di dunia. Pemeringkatan ini didasarkan pada penilaian kondisi keamanan, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), ketertiban lingkungan, serta praktik kriminalitas.

Baca Juga

Melihat fakta ini, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) ini menerangkan, ada sebuah terminologi yang mengatakan bahwa Islam itu kekerasan. "Padahal Islam itu adalah jalan keselamatan. Jadi tidak mungkin Islam itu mengajarkan kekerasan apalagi terorisme,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Republika, Ahad (31/3).

Penyerangan yang dilakukan Brandon Tarrant tentu sangat mengejutkan publik dunia. Aksi ini tidak serta merta membuat masyarakat muslim Selandia Baru menjadi takut. Tepat sepekan setelah teror, masyarakat berduyun-duyun untuk datang ke masjid, bahkan azan disiarkan secara besar-besaran di beberapa stasiun televisi.

“Itu membuktikan bahwa masyarakat di New Zealand memiliki pengetahuan dan toleransi yang tinggi dengan mereka turun kelapangan, memakai hijab, sebagai bentuk empati.  Mereka juga bisa membedakan mana yang terorisme dan mana yang tidak, dan mereka tahu bahwa islam itu adalah agama yang damai,” tuturnya.

Nafik mengungkapkan, Islam mengajarkan ketenangan, perdamaian, toleransi, dan nilai-nilai universal yang semua agama juga meyakini itu. Hanya saja, banyak pihak-pihak tertentu mempolitisasi atau menjustifikasi dalil agama atau dalil Islam. "Khususnya, untuk kepentingan tertentu,” kata direktur penelitian Pusat Studi Islam dan Multikulturalisme (PUSAM) UMM ini.

Ia berpendapat, hal ini disebabkan Islamofobia yang tengah melanda masyarakat dunia belahan barat. Padahal Islam sendiri telah diajarkan bahwa setiap umat bahkan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya saling mengenal. Hal ini yang sebenarnya menjadi konsep multikulturalisme dalam Islam. 

Berbagai aksi kekerasan berlatar belakang agama ini, disebut Nafik, paling tidak disebabkan oleh dua faktor dominan. Pertama, sambungnya, praktik populisme agama yang hadir di ruang publik. Kemudian dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu. 

Sementara yang kedua, beberapa kelompok yang beraliran politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi kebenaran manuver politik tertentu. Paham ekstrim ini menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran.

Di sisi lain, Nafik menyatakan, Islam juga ada begitu banyak mengajarkan kepada umat untuk bertoleransi. Islam telah menganjurkan supaya umat muslim berlaku adil (al-Maidah: 8-10) dan peduli terhadap sesama (al-Maun: 1-7). Lalu juga larangan saling bermusuhan (al-Hujurat: 12), serta merajut kebersamaan (al-Hujurat: 10). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement