REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia masih terus melakukan pembahasan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial Wetboek van Srafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Srafrecht Negeri Belanda 1886.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengatakan hukum pidana yang Indonesia dimiliki dan berlaku hingga saat ini merupakan warisan hukum kolonial Belanda. Suatu intrusi hukum yang sesungguhnya bersifat a-histori, karena kehadirannya tidak seiring dengan perkembangan masyarakat kita sendiri pada saat itu.
“Sehingga kita sadari atau tidak, secara politis dan sosiologis pemberlakuan hukum pidana kolonial ini telah menimbulkan problema tersendiri. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana yang bersifat komprehensif, yang telah dipikirkan oleh para ahli hukum pidana sejak tahun 1960-an dimaksudkan guna menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan hukum pidana warisan kolonial,” kata Yasonna di Jakarta, Kamis (28/3).
Dia menjelaskan beberapa alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana yakni KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Kedua, perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP.
"Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum nasional," ucap Yasonna.
Kemudian yang ketiga, dalam beberapa hal juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP.
“Sejalan dengan itu, maka para ahli hukum pidana berpandangan bahwa dalam pembaharuan hukum pidana hendaknya meliputi tiga pilar, yaitu 1) Tindak Pidana (Criminal Act), 2) Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Responsibility), 3) Pidana dan Pemidanaan (Punishment and Treatment System),” ujarnya.
Yasonna mengungkapkan sebagai negara yang mempunyai tujuan ikut melaksanakan ketertiban dunia haruslah ikut aktif dalam tata pergaulan internasional. Dalam melaksanakan pergaulan internasional dan ikut serta menjadi anggota organisasi regional dan internasional Pemerintah Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian, dan selanjutnya meratifikasinya menjadi Undang-Undang.
“Karena itu pembaharuan hukum pidana sesungguhnya tidak hanya terbatas pada KUHP yang harus adaptif terhadap perkembangan masyarakat dan kearifan lokal. Pembaharuan hukum pidana juga harus mempertimbangkan hal-hal lain diluar rumah hukum pidana yang juga berkembang secara dinamis, bahkan acapkali sulit diramalkan (unpredictable) dan lintas batas negara seiring dengan kemajuan teknologi, yang saat ini telah memasuki Era Revolusi Industri 4.0,” jelasnya.
Sementara itu, sambung dia, terhadap penegakan hukum kejahatan lintas negara dan kejahatan cyber itu Kemenkumham selaku Otoritas Pusat (Central Authority) telah menandatangani berbagai berbagai perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (MLA/ Mutual Legal Assistance) dengan negara-negara yang memiliki potensi sebagai tempat untuk bersembunyi, menempatkan asset hasil kejahatan, dan dilakukannya tindak kejahatan cyber.
“Beberapa perjanjian MLA yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia adalah Swiss, ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran,” kata dia.
Yasonna menambahkan kondisi itu tentu tidak bisa lagi menempatkan ilmu hukum pidana sendirian menyelesaikan persoalan-persoalan kejahatan di masyarakat. Seiring dengan tumbuhnya bermacam-macam ilmu pengetahuan kemasyarakatan, maka sangat berguna sekali dalam memecahkan perosalan-persoalan dalam rumah pidana lainnya.
“Arah Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana juga tidak bisa lagi hanya bertumpu pada perkembangan nasional, tetapi juga harus menyesuaikan (harmoni) dengan negara-negara lain dalam penegagakan hukum pidana,” imbuhnya.