REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kampanye rapat umum atau kampanye terbuka telah berlangsung dua hari lalu. Namun, narasi masing-masing kedua pasangan calon tidak ada perubahan dan dicenderung diulang-ulang.
Direktorat Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Habiburokhman memberikan pembelaan terkait narasi yang disampaikan jagoannya di panggung kampanye. Menurutnya, narasi tersebut merupakan konsistensi sikap politik Prabowo-Sandiaga.
"Kalau kami bicara kebocoran kekayaan negara justru sebagai bentuk konsistensi sikap politik," tegas Habiburokhman saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (26/3).
Habiburokhman melanjutkan, bahwa pihaknya juga menyampaikan detail program-program Prabowo-Subianto untuk lima tahun ke depan. Ia memberikan contoh, mulai dari menyelesaikan permasalahan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam 200 hari. Kemudian komitmen untuk mewujudkan keadilan hukum di antaranya dengan menjamin Habib Rizieq agar bisa pulang dan mendapatkan keadilan.
"Pengenalan kartu super yaitu KTP. Sebagai saranan untuk memberikan berbagai fasilitas kepada rakyat," tutur Habiburokhman.
Selain itu politikus Partai Gerindra itu juga membantah bahwa masyarakat jenuh dan menganggap bahwa narasi hanya diulang-ulang. Justru menurutnya masyarakat sangat antusias dengan narasi politik yang disampaikan oleh calon presiden Prabowo Subianto maupun calon wakil presiden Sandiaga Uno. Sebab, narasinya berdasarkan fakta.
"Publik justru sangat antusias dengan apa yang disampaikan Pak Prabowo karena nyambung dengan fakta kehidupan sehari-hari yang mereka rasakan," tegasnya.
Di antara narasi kampanye yang disampaikan oleh Prabowo Subianto adalah mengenai kebocoran anggaran negara atau pendapatan negara sekitar Rp 500 triliun. Angka tersebut dihitung jika sekitar 25 persen dari anggaran belanja negara bocor. Bahkan Prabowo menyakini, jika dihitung lebih teliti lagi angkanya bisa lebih itu.
Menurut Prabowo, berbagai macam bentuk-bentuk kebocoran tersebut. Sebagai contohnya, mark up proyek jembatan yang harganya Rp 100 miliar, akan ditulis jadi Rp 150 miliar.
“Ini terjadi terus-menerus. Kita harus objektif. Masalah ini sudah jalan lama. Ini harus kita hentikan dan kurangi,” kritik Prabowo beberapa waktu lalu.