Selasa 26 Mar 2019 06:19 WIB

Ikhlas demi Urusan Hajat Orang Banyak

Syaifullah meminta bantuan pemerintah untuk menyediakan bakteri pengurai limbah.

Rep: Agata Eta/ Red: Bilal Ramadhan
Toilet Umum (ilustrasi)
Foto: Huffingtonpost
Toilet Umum (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Permasalahan mandi, cuci, dan kakus (MCK) ternyata masih menjadi salah satu pekerjaan rumah Ibu Kota. Walaupun telah menjadi kota megapolitan, banyak warganya yang belum memiliki jamban dan tempat mandi yang layak, salah satunya di kawasan Duri Pulo, Jakarta Pusat.

Alasan itu yang membuat Syaifulloh rela tanah miliknya digunakan untuk tempat membangun jamban komunal. Berlokasi di Jalan Setia Kawan Barat, RT 12, RW 09, Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat, sepintas jamban komunal miliknya tidak terlihat dari jalan. Tempat itu menempel langsung dengan tembok rumah Syaifulloh yang akrab disapa Pak Wuloh ini.

Siang itu, Senin (25/3), giliran Ani, anak Syaifulloh, yang bertugas menjaga jamban ini. Dia duduk di depan pintu rumah yang berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi yang berjejer menghadap ke arah barat.

Total ada enam kamar mandi, dengan dua kamar mandi dikhususkan untuk mandi dan cuci, sengaja tidak dibangun jamban di dalamnya. Menurut Ani, jamban bersama ini dibangun sejak 1990-an.

"Dari saya kecil sudah ada deh pokoknya," kata Ani yang telah memiliki tiga anak.

Ani mengakui, jamban komunal ini dibangun dengan dana pemerintah. Namun, tanah yang digunakan adalah merupakan ayahnya. "Dulu ditawarin pemerintah mau enggak dibuat WC, terus bapak sih mau-mau saja," ujar wanita gempal itu.

Ani hanya sesekali membantu menjaga jamban itu. Kebetulan hari itu dia mendapat jatah cuti bekerja, sehingga ia pun menggantikan ayahnya. "Biasanya Ibu juga bantu jaga, tapi ini lagi pulang kampung," ujarnya.

Jamban komunal milik Syaifulloh ini mulai dibuka sejak pukul 05.00 WIB hingga 21.00 WIB. Jam sibuknya saat pagi dan sore hari, saat orang-orang bersiap pergi sekolah dan bekerja. Sementara siang itu, sedang tidak ada orang yang berkunjung. Meskipun ditutup pukul 21.00, Syaifulloh selaku pemilik masih harus membersihkannya.

Tidak mengherankan apabila jamban komunal ini terlihat bersih. Lantainya mengkilap, walaupun sederhana dan ukurannya hanya sekitar 2x1 meter. Tidak ada bak mandi di dalamnya, melainkan menggunakan ember bekas cat dan sebuah gayung. Keran pun mengalirkan air dengan lancar ketika dibuka.

Untuk penyediaan air, Syaifulloh memilih menggunakan air tanah dengan pompa. Menurutnya, menggunakan air PAM cenderung lebih mahal daripada air tanah. "Kalau pakai air PAM enggak tahu deh nasibnya, sering mati sih air PAM. Tapi yang lebih berat itu di biaya perawatannya," ujar Syaifulloh yang juga menjabat sebagai ketua RT 12 RW 09 itu.

Selama puluhan tahun berdiri, Syaifulloh menggunakan uang pribadi untuk biaya operasional toilet umum ini, mulai dari alat bersih-bersih, perawatan pompa, hingga biaya listrik. Ia mengaku tidak pernah menghitung biaya yang harus ia keluarkan setiap bulan untuk operasional jamban komunal itu.

Yang pasti biaya sewa yang ia terapkan selama ini tidak pernah cukup untuk biaya operasional. Ia menghitung dalam sehari paling banyak mendapatkan Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu.

Untuk diketahui, Syaifulloh menetapkan tarif Rp 1.000 untuk buang air kecil, Rp 2.000 untuk buang air besar dan mandi. Yang termahal yaitu untuk mencuci, yakni dikenai biaya Rp 5.000. Meskipun dengan biaya yang terbilang murah, nyatanya masih banyak warga yang membayar tidak sesuai tarif yang ditetapkan.

"Ada juga yang harusnya bayar Rp 2.000 tapi bayarnya cuma Rp 1.000 atau Rp 1.500," kata Syaifulloh.

Meski demikian, ia menerima berapapun uang yang diberikan warga. Ia memang berniat sepenuh hati untuk membantu masyarakat, sehingga uang tidak menjadi beban baginya. Saat ini, Syaifulloh sangat berharap adanya bantuan dari pemerintah.

"Bantu renovasi dikit-dikit, sama buat pompa biar bisa diganti setahun sekali," ujar dia penuh harap.

Selain itu, ia juga berharap ada bantuan untuk pengelolaan limbah di jamban komunal miliknya. Selama ini ia kerap memanggil jasa sedot tinja untuk membersihkan saluran. Namun, dia menilai, biaya jasa sedot tinja ini memberatkan. Untuk sekali sedot tinja, ia sudah harus merogoh Rp 500 ribu.

Syaifullah mengungkapkan, petugas dari kelurahan maupun kecamatan pernah meninjau jamban komunal miliknya, tapi hanya difoto. Setelah itu tidak ada tindak lanjut dari pemerintah.

Ia berharap aspirasinya bisa sampai ke telinga pemerintah. Ia ingin agar pemerintah dapat membantu menyediakan bakteri pengurai limbah. “Saya pernah dengar tentang bakteri itu, tapi saya bingung mendapatkannya bagaimana. Kalau bisa pemerintah membantu sediakan," ujar Syaifulloh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement