REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, dibeberkannya daftar penerima fee terkait kasus korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) 2018 dalam sidang Sekretaris Jenderal (Sekjen) KONI Ending Fuad Hamidy adalah hal yang lumrah. Menurut Syarif, Jaksa penuntut KPK sedang melakukan klarifikasi atas bukti yang dimiliki di persidangan.
"Itu sih masih merupakan bagian penyidikan KPK. Kalau ada di fakta persidangan seperti itu. Itu yang sedang dilakukan Jaksa KPK (klarifikasi)," kata Syarif di Gedung KPK Jakarta, Jumat (22/3).
Ihwal apakah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi akan kembali dipanggil menjadi saksi dalam persidangan, menurut Syarif hal tersebut adalah kewenangan dari Jaksa KPK. Menurutnya, pemanggilan sebagai saksi akan dilakukan bila dinilai Jaksa KPK dibutuhkan keteranganya dalam persidangan.
Pada sidang lanjutan, Kamis (21/3), Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan Sekretaris Bidang Perencanaan dan Anggaran KONI Suradi sebagai saksi dalam perkara suap terkait hibah untuk KONI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan terdakwa Ending Fuad Hamidy. Dalam persidangan, nama Imam Nahrawi disebut dalam daftar penerima fee.
Penyebutan nama Imam Nahrawi berawal ketika Jaksa KPK menanyakan keterangan Suradi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan Fuad. Pertanyaan diajukan oleh jaksa Titto Jaelani kepada Suradi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
"Dalam BAP, saudara menyebutkan bahwa 'pada Kamis, 13 Desember 2018 Ending Fuad Hamidy mengarahkan pembuatan alternatif pembiayaan kegiatan pada KONI sebesar Rp 17,9 miliar. Pada waktu itu Fuad Hamidy meminta saya menyusun beberapa alternatif kegiatan agar biaya sebesar-besarnya dikeluarkan KONI Rp 8 miliar dari total Rp 17,9 miliar karena Fuad Hamidy punya kebutuhan untuk memberikan uang ke Kemenpeora seperti Menpora, Ulum, Mulyana dan beberapa pejabat lain', apakah benar?" tanya jaksa Titto.
"Betul, waktu Pak Sekjen mengatakan 'Uangnya tidak cukup, tolong dibuat Rp 5 miliar karena ternyata kebutuhannya seperti ini ada Rp 3 miliar sekian seperti di daftar', lalu ditambah Rp 5,5 miliar jadi sekitar Rp 8 miliar," jawab Suradi.
Mendengar jawaban Suradi, Jaksa KPK menunjukkan barang bukti berupa catatan daftar pembagian uang yang dibuat Suradi. Dalam catatan itu, terdapat 23 inisial nama yang lengkap dengan nilai uang yang akan diberikan. Kepada Suradi, Jaksa KPK mengonfirmasi siapa saja mereka yang disebut dalam inisial tersebut.
"Barang bukti, inisial M apa maksudnya?" tanya Jaksa KPK lagi.
"Mungkin untuk menteri. Saya tidak tanya Pak Sekjen, asumsi saya Pak Menteri," jawab Suradi.
Imam hari ini menegaskan, tidak tahu-menahu terkait kasus tersebut. Namun, Imam tetap akan menghargai proses hukum dan akan menjelaskan kebenarannya saat mendapat kesempatan. Menurutnya, itu hanya opini semata.
"Tentu saya menghargai proses hukum dan kita akan melihat nanti antara fakta dan opini yang dibangun. Tentu saya juga tidak tahu siapa yang membuat inisial-inisial itu dan siapa yang menafsirkan inisial itu," kata Imam.