REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang akan menindak pelaku penyebaran hoaks dengan UU Terorisme. Menurut Dedi, kepolisian berpijak kepada fakta hukum yang ditemukan oleh penyidik.
"Jadi ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, penebar hoaks tersebut dapat dikenakan UU Nomor 5/2018 dan sesuai dengan Pasal 1 Huruf 1, ada unsurnya di situ adalah ancaman kekerasan misalnya," kata Dedi, Kamis (21/3).
Kemudian, sambungnya, jika hoaks tersebut menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas. Apabila disebarkan melalui media sosial, kata dia, tentunya nanti dari sisi perspektif hukum, penyidik akan membuktikan terlebih dahulu latar belakang pelaku penyebar hoaks. Lalu mens rea atau unsur kesengajaannya untuk membuat rasa cemas, takut, dan intimidasi psikologis.
"Itu bisa dikenakan juga Pasal 6 UU Nomor 5/2018 apabila pelakunya memiliki jaringan atau masuk ke dalam satu jaringan terorisme. Itu perlu pendalaman yang boleh dikatakan kita harus mengundang atau memeriksa saksi ahli untuk menguatkan konstruksi hukum," paparnya.
Menurutnya, semua sangat tergantung ada fakta hukum. Sehingg fakta hukum yang diterapkan oleh kepolisian baik dari kajian komperehensif juga tidak mudah dan gampang menerapkan pasal-pasal terhadap seseorang. "Perlu kita melakukan satu kajian dulu dan kita panggil saksi-saksi ahli. Apakah diksi-diksi yang disampaikan ke dalam narasi maupun dalam bentuk verbal masuk nggak dalam konstruksi hukum. Kalau masuk konstruksi hukum dan penyidik memiliki keyakinan, lanjut proses," ucapnya.
Ia menambahkan, leading sector polisi tidak serta merta melakukan penegakan hukum, apalagi kaitannya dengan pemilu. "Ada lagi mekanismenya. Apalagi Gakkumdu. Gakkumdu yang paling depan, kalau Gakkumdu selesai, baru pidana," imbuhnya.
Oleh karena itu, ia menuturkan, UU Terorisme baru bisa diterapkan terhadap penyebar hoaks, jika ditemukan fakta bahwa yang bersangkutan termasuk dalam jaringan teroris tertentu. "Ya seperti itu, tapi sangat tergantung konstruksi dan fakta hukum oleh penyidik," ujarnya
Wiranto pada Rabu (20/3) menegaskan, bahwa penyebaran berita bohong atau hoaks dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019 merupakan tindakan teror. Wiranto pun mewacanakan gunakan UU Terorisme untuk menangani teror hoaks.
"Saya kira (hoaks) ini teror, meneror psikologi masyarakat. Oleh karena itu, ya kita hadapi sebagai ancaman teror. Segera kita atasi dengan cara-cara tegas, tapi bertumpu kepada hukum," ujar Wiranto usai Rakor Kesiapan Pengamanan Pemilu 2019, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).
Hoaks yang meneror masyarakat dan menimbulkan ketakutan di masyarakat, kata dia, sama saja seperti terorisme. "Kalau masyarakat diancam dengan hoaks agar mereka takut datang ke TPS, itu sudah ancaman dan merupakan tindakan terorisme. Oleh karena itu kita gunakan UU Terorisme," tegas Wiranto.
Ia pun meminta aparat keamanan untuk mewaspadai penyebaran hoaks dan menangkap pelaku hoaks yang menimbulkan ketakutan di masyarakat karena meneror masyakat. "Aparat keamanan juga harus bisa mengajak masyarakat bahwa pelaksanaan pemilu berlangsung aman," ujarnya.