Kamis 21 Mar 2019 13:45 WIB

Soal Usul Wiranto, Konstras Sebut Ada Kepanikan

Penegak hukum diminta untuk tetap proporsional dalam menegakkan hukum.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Koordinator, Politik, Husum, dan Keamanan, Wiranto
Foto: ANTARA/RAISAN AL FARISI
Menteri Koordinator, Politik, Husum, dan Keamanan, Wiranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto untuk menjerat pelaku penyebar hoaks dengan Undang Undang (UU) Terorisme menuai kontroversi.

Koordinator Kontras Yati Andriyani menilai, penggunaan UU Terorisme dalam penanganan hoaks atau berita bohong menyiratkan ada kepanikan pemerintah dalam menyikapi kabar bohong jelang Pemilu.

Baca Juga

Menurutnya, pemerintah dan penegak hukum harus tetap proporsional dan profesional dalam melakukan penegakan hukum, termasuk dalam penanganan hoaks.

"Penegakan dan penerapan hukum tidak bisa basisnya karena kepanikan penguasa (pemerintah), kemudian penguasa  menggunakan subjektivtitasnya dalam menggunakan hukum sebagai instrumen memuluskan agenda atau programmya," kata Yati kepada Republika.co.id, Kamis (21/3).

Lebih lanjut ia menerangkan, dalam konteks ini, KUHP dan ITE sudah mengatur mengenai berita bohong. Bahkan, sambung Yati, meskipun sudah diatur dalam penerapannya pun masih sering bermasalah lantaran aturan ini sangat lentur dan “karet”.  "Penegakan hukum kita akan tambah bermasalah lagi pemerintah (penguasa) kemudian menafsirkan secara sepihak bahwa hoaks dalah tindakan terorisme," tegasnya.

Sebelumnya, Wiranto menyatakan hoaks merupakan bagian dari tindakan terorisme dan karenanya pelaku bisa dijerat dengan UU Terorisme. Ia mendefinisikan terorisme sebagai suatu tindakan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.

Menurut Wiranto, hoaks yang mengancam masyarakat untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) sudah masih ke dalam pengertian terorisme. 

Ia menyebutkan, kabar bohong merupakan ancaman baru yang sebelumnya tidak begitu marak pada pelaksanaan pemilu dan keberadaannya dapat mengganggu psikologi masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement